Karena perempuan-perempuan Minangkabau telah, bisa dan selalu melawan kekuasaan-kekuasaan yang datang silih berganti yang berusaha menghancurkan ranah Minang entah itu atas nama jihad Islam kaum padri, Barat, pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat, yaitu para Bundo Kanduang, para Niniak/Niniek/Ninik (nenek), atau nama-nama seperti Siti Manggopoh, Rohana Kudus, Rasuna Said , Yeni Rosa Damayanti, Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, Rahmah El Yunusiyah, Aisyah Amini dan banyak lagi perempuan-perempuan Minangkabau lainnya.
Karena perempuan Minangkabau telah terbiasa memimpin masyarakat sebagai Bundo Kanduang dan juga mengambil alih kepemimpinan dari tangan laki-laki ketika laki-laki tidak berdaya apa-apa lagi seperti Siti Manggopoh yang memimpin penyerangan bersenjata terhadap Belanda bahkan ketika anaknya masih menyusu.
Karena perempuan Minangkabau dihargai kemampuan reproduksinya dan diakui hubungannya yang alami dengan anak dimana perempuan-perempuan lain dalam budaya patriarkal Indonesia maupun dunia hanya diperlakukan sebagai “mesin pembuat anak” atau “pengasuh anak daripada seorang laki-laki” dan diputuskan hubungan alaminya dengan anak-anak yang telah dikandungnya dan dilahirkannya.
Karena perempuanlah yang menjadi pemilik tanah dan harta kaum, yang telah terbukti berjasa dalam mempertahankan budaya Minangkabau dan identitas Minangkabau yang membuat kaum tetap memiliki kampung halaman ke mana mereka pulang sejauh apapun mereka merantau dan di mana dalam budaya lain, hampir seluruh tanah telah diperjual-belikan oleh pihak laki-laki dan telah beralih ke tangan para elit yang utamanya adalah laki-laki.
Karena perempuan-perempuan Minangkabaulah yang mengatur dan mengurus keluarga dan berhasil mencetak anak-anak menjadi pribadi-pribadi yang percaya diri dan kuat, yang bisa memimpin masyarakat dan menjadi orang-orang yang perannya terkenal di Indonesia dan negeri-negri Melayu seperti Malaysia, Singapura dan Brunei dan maupun dunia.
Karena perempuan Minangkabau selalu berhasil melawan kekuasaan daripada budaya-budaya patriarkal yang datang dari luar yang berusaha dan cenderung meminggirkan perempuan dari perannya dalam kehidupan masyarakat entah itu kekuasaan yang bernama Islam (fundamentalis ataupun tidak), kekuasaan Belanda atau Barat secara umum, kekuasaan yang bernama pemerintah daerah atau pusat serta kekuasaan yang berbentuk hukum yang menindas perempuan serta kekuasaan-kekuasaan patriarkal dunia lainnya.
Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi perempuan-perempuan pertama di banyak bidang kehidupan “modern” mulai dari jurnalisme/pers/media, dunia usaha, organisasi, pendidikan, seni/budaya, bidang-bidang intelektual dan lain-lain bidang.
Karena perempuan Minangkabulah yang menjadi perempuan pertama yang menjadi pendiri partai pertama di Indonesia, yaitu H.R. Rasuna Said.
Karena perempaun Minangkabaulah yang mendirikan surat kabar khusus perempuan pertama yaitu Rohana Kudus yaitu surat kabar Sunting Melayu.
Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi pendiri organisasi perempuan pertama di Indonesia yaitu Rohana Kudus yaitu organisasi Kerajinan Amai Setia pada tahun 1911.
Karena perempuan Minangkabaulah yang memelopori bidang usaha modern untuk kaum perempuan di Indonesia yaitu Rohana Kudus dengan bidang usaha Kerajinan Amai Setianya.
Karena perempuan Minangkabaulah yang mendirikan sekolah perempuan modern pertama yaitu Rohana School yaitu Rohana Kudus.
Karena perempuan-perempuan Minangkabau adalah perempuan-perempuan kuat yang juga memilki banyak kemampuan dan ketrampilan serta tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai Bunda Penyayang bagi anak-anaknya.
Karena perempuan-perempuan Minangkabau bisa melakukan apa saja tanpa harus pusing-pusing belajar dan berkutat dengan “teori feminisme“/”teori pembebasan perempuan“/”teori pemberdayaan perempuan” dan lain sebagainya yang sebenarnya hanya berlaku untuk dan diperlukan oleh perempuan-perempuan dalam budaya patriarkal yang memang dilecehkan, ditindas dan dipinggirkan. Yang perlu dilakukan oleh perempuan Minangkabau adalah melawan pengaruh-pengaruh buruk dan merusak dari budaya-budaya patriarkal dunia yang masuk lewat satuan-satuan budaya dengan label agama, ideologi ataupun kekuasaan.
Karena ketika anak gadis-anak gadis lain diajarkan oleh Ibunya untuk menjerat laki-laki kaya walaupun sudah tua dan menjijikkan sekalipun, Bunda saya dan Bunda-Bunda Minang lain mengatakan kepada gadis-gadis Minang untuk bersama dengan laki-laki yang baik dan penyayang.
Karena perempuan-perempuan Minangkabau tidak dijarkan untuk patuh dan menurut kepada laki-laki lain yang dikenal sebagai “sang suami”, ketika gadis-gadis lainnya diajarkan untuk “melayani laki-laki yang menjadi suaminya” dan patuh tanpa syarat, dikarenakan tanggung jawab perempuan Minangkabau adalah terhadap anak dan keluarganya. Walaupun konsep-konsep seperti ini sudah mulai masuk ke dalam budaya Minangkabau lewat budaya-budaya patriarkal lokal maupun internasional yang berusaha menguasai ranah Minang.
Ketika anak gadis-anak gadis lain dipingit dan tidak dapat melakukan apa-apa perempuan Minangkabau bisa melakukan apa saja karena tidak pernah ada pemisahan yang jelas antara “pekerjaan laki-laki” atau “pekerjaan perempuan” pada masyarakat Minangkabau.
Karena perempuan Minangkabau diakui peranannya sebagai Bundo Kanduang (Bunda Penyayang), atau dalam perannya sebagai kekuatan untuk meneruskan generasi manusia di dunia. Oleh karenanya perempuan-perempuan Minangkabau yang telah memiliki keturunan diberi gelar Bundo Kanduang.
Ketika perempuan-perempuan lain dalam budaya patriarkal diberi tugas untuk harus dapat “melahirkan anak laki-laki”, “menyembah anak laki-laki” dan memdiskriminisakikan anak perempuannya bahkan kalau perlu membunuhnya di kandungan ataupun setelah di luar kandungan seperti banyak terjadi di India dan Cina serta di dalam budaya-budaya patriarkal zaman dulu, perempuan-perempuan Minangkabau mengandung dan melahirkan anak-anak tanpa memandang jenis kelamin.
Karena menjadi “perempuan” dalam budaya Minangkabau tidaklah hina seperti menjadi perempuan dalam budaya-budaya patriarkal baik di Indonesia maupun dunia.
Kerena ketika perempuan-perempuan dalam karya sastra (dan film) dari banyak budaya patriarchal lainnya hampir selalu digambarkan sebagai pelacur, perempuan yang diperkosa, perempuan yang dipukuli, perempuan yang dibunuh, perempuan yang dijual orang tuanya ke laki-laki lainnya, perempuan yang diberikan ke laki-laki yang berkuasa seperti nasib yang harus dijalani oleh RA Kartini yang disebut-sebut sebagai “pembebas perempuan Indonesia” itu, dan lain-lain perbuatan biadab terhadap perempuan, perempuan Minangkabau digambarkan sebagai Ibu Ratu bijaksana dalam tambo alam Minangkabau yaitu Bundo Kanduang dan juga sebagai perempuan-perempuan kuat dan mandiri dalam kaba (cerita klasik Minang). Sastra Minangkabau tidak mengenal perempuan sebagai pelacur atau tema-tema cerita-cerita lainnya yang melambangkan pelecehan, penindasan, kekerasan dan penghinaan serta penistaan terhadap kaum perempuan yang menjadi tema-tema utama di dalam budaya patriarkal baik lokal maupun dunia.
Karena budaya Minangkabau tidak mengenal perempuan sebagai pelacur, sebagai budak, baik dalam lembaga yang bernama “rumah tangga” maupun sebagai pembantu rumah tangga murah, sebagai anak yang dijual orang tuanya kepada laki-laki kaya, perempuan sebagai “obyek seks” dan lain-lain posisi perempuan yang rendah dan tertindas.
Karena perempuan Minangkabau sangat dihormati dalam fungsi keibuannya dan diberi gelar sama dengan gelar Ibu Asal Minangkabau yaitu Bundo Kanduang.
Karena perempuan Minangkabau dihormati dalam fungsinya sebagai cerdik pandai dan diberi gelar sama dengan gelar Ibu Asal Minangkabau yaitu Bundo Kanduang.
Karena budaya Minangkabau telah dan selalu melahirkan perempuan-perempuan hebat yang melawan begitu banyak kekuasaan patriarchal yang datang silih berganti ke ranah Bundo Kanduang dan yang berusaha menghancurkan ranah maupun budaya Bundo Kanduang seperti Siti Manggopoh, Rasuna Said, Rahmah El Yunusiyah, Rohana Kudus, Puti Reno Raudha Thaib, Yeni Rosa Damayanti, Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, Dr. Ranny Emilia, Lany Verayanti dan masih banyak lagi lainnya.
Karena budaya Minangkabau banyak melahirkan perempuan-perempuan yang keras hati, teguh pendirian, dan kuat kemauan, kuat dalam menghadapi cobaan hidup, mandiri, dan memainkan peranan penting dalam keluarga, masyarakat baik di ranah Minang, Indonesia maupun dunia.
Karena perempuan Minangkabau sebagai janda tidak dipandang rendah atau bahkan harus mati dipanggang api karenanya, seperti yang umum terjadi dalam budaya-budaya yang dipengaruhi oleh Hindu seperti di India dan Jawa/Sunda. Perempuan Minangkabau akan didorong untuk kawin lagi sehingga tidak perlu menderita karena harus “bobok sendirian” 😉
Karena perempuan Minangkabau tidak dipandang dari sisi kelaminnya seperti perempuan-perempuan dalam budaya patriarkal, melainkan dari segi fungsinya sebagai Bunda bagi anak-anaknya, perannya dalam keluarga besar dan dalam masyarakat.
Karena ketika perempuan-perempuan lain dalam budaya patriarkal harus menelan hinaan-hinaan yang menyakitkan hati dan sangat merendahkan seperti kata-kata berikut dalam bahasa Jawa/Sunda/Jakarta (sundal, pelacur, perek, ayam, perempuan murahan, dll), Inggris (whore, slut, bitch, chick, cunt, dll), Jerman (Schlampe, Nutte, Flittchen, Hure, dll), Perancis (putain, pute) dan banyak lagi lainnya dalam berbagai bahasa-bahasa daripada bangsa-bangsa patriarkal lokal maupun dunia, budaya Minangkabau tidak mengenal cacian dan hinaan serupa itu. Satu panggilan untuk perempuan Minangkabau yang melambangkan penghormatan dan penghargaan yang tinggi yaitu Bundo Kanduang. Lewat pengaruh-pengaruh budaya-budaya patriarkal baik lokal maupun internasional, sudah ada laki-laki dan juga sebagain kecil perempuan Minangkabau yang telah mulai menggunakan kata-kata hinaan dan cacian tersebut. Tapi hal itu masih bukan merupakan hal yang umum.
Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi pandeka Silat yang dikenal dunia yaitu Inyiak Upiak Palatiang.
Karena perempuan-perempuan Minangkabau adalah perempuan-perempuan pelopor dalam bidangnya masing-masing di Indonesia.
Karena perempuan-perempuan Minangkabau adalah pelopor-pelopor dalam bidang puisi di Indonesia.
Karena peremuan-perempuan Minangkabau adalah perempuan-perempuan menonjol dalam bidang penulisan seperti Saadah Alim, Leila S. Choidori dan banyak lagi lainnya.
Karena perempuan-perempuan Minangkabau adalah perempuan-perempuan yang berperan penting dalam dunia film dan theater seperti Eva Arnaz, Jajang Pamoentjak, Gusmiati Suid dan Sherina.
Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi penulis cerita pendek perempuan pertama di Indonesia yaitu Saadah Alim.
Karena perempuan Minangkabaulah yang aktif memperkenalkan budaya-budaya Indonesia ke manca negara yaitu Elly Kasim.
Karena perempuan Minangkabaulah yang aktif membela perempuan yang ditinda oleh para penguasa Islam seperti Inul yaitu Jajang Pamoentjak dan Yeni Rosa Damayanti.
Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi Ibu Pers Indonesia yaitu Rohana Kudus.
Karena perempuan Minangkabaulah yang menyelamatkan per-film-an Indonesia setelah sekarat hampir 20 tahun lamanya yaitu artis kecil Sherina, yang menyelamatkan per-film-an Indonesia pada saat ia baru berumur 10 tahun lewat film-nya yang sangat terkenal yaitu Petualangan Sherina.
Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi anggota kehormatan dari lembaga hak-hak asasi manusia untuk pemberitaan mengenai senjata pemusnah masal yaitu The Weapons of Mass Destruction Commission, yang berkedudukan di Swedia yaitu Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar.
Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi Ibu dari dunia tari kontemporer Indonesia, yang membuat nama Indonesia diakui di dunia Internasional dengan tari kontemporernya yang berdasarkan pada budaya Minangkabau Silek (silat) yaitu Gusmiati Suid, pendiri sanggar tari Gumarang Sakti.
Karena perempuan Minangkabaulah yang merupakan aktivis mahasiswa yang ditakuti Suharto yaitu Yeni Rosa Damayanti yang dipenjarakan olehnya lebih dari satu tahun lamanya dalam kasus “21 mahasiswa” dan yang diasingkan olehnya di negri Belanda setelah peristiwa di kota Dresden, Jerman.
Karena Ibu saya ada banyak, saya panggil mereka Mak Gaek, Uwo, Mama dan Etek.
Karena saya tidak pernah diajarkan oleh Ibu saya dan budaya saya untuk menyembah laki-laki dan memasrahkan kehidupan saya ditangan laki-laki seperti nasib banyak perempuan-perempuan lainnya dalam budaya patriarkal.
Karena saya sebagai perempuan bisa jauh merantau, dan karenanya bisa tau banyak hal dan bisa melihat banyak hal. Karena Ibu saya tidak pernah mengatakan hal-hal berikut ini: “Ah, kamukan perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi”, “sebagai perempuan kamu harus melayani suami”, dan lain-lain ucapan yang merendahkan anak perempuan dan menghilangkan semangat anak perempuan yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu pemuja phallus (kelamin laki-laki) pada budaya patriarkal.
Karena masyarakat Minangkabau adalah masyarakat matriarchat terbesar di dunia.
Karena masyarakat Minangkabau adalah masyarakat matriarchat yang “termodern” di dunia.
Karena masyarakat Minangkabau adalah masyarakat matriarchat yang paling stabil di dunia.
Karena Minangkabau menjadi lambang perlawanan budaya matriarchat yang diperangi oleh budaya patriarchat selama ribuan tahun.
Karena perempuan-perempuan Minangkabau berhasil bertahan dan selalu melakukan perlawanan atas penindasan dan usaha-usaha memerangi perempuan dan budaya Minangkabau. Sampai sekarang.
Karena perempuan-perempuan Minangkabau memainkan peranan penting dalam melawan arus kekuatan-kekuatan patriarkal besar dunia, Hindu/Budha-India, Hindu/Budha–Jawa, Konfusianisme/Budha–Cina, Katolik–Portugis, Budha–Sriwijaya, Aceh–Islam, Arab–Islam, Kristen–Belanda, Kristen–Inggris, Budha–Jepang, Kristen/Globalisasi/Kapitalisme Turbo–Amerika Serikat/Inggris serta Kristen/Misionaris Barat.
Karena perempuan-perempuan Minangkabau memainkan peranan penting dan sangat berpengaruh di Indonesia (dalam arti yang baik tentunya) dalam bidang budaya, bahasa, sastra, politik, sejarah, pers, gastronomi, dan lain sebagainya, walaupun di dalam pemberitaan atau buku sejarah Indonesia hampir tidak disebutkan.Perempuan Minangkabau hilang dari lembaran-lembaran pemberitaan dan sejarah Indonesia lewat jawanisasi, Islamisasi, Arabisasi, Eropaisasi dan maskulinisasi sejarah.
Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi teladan bagi banyak gadis-gadis remaja di Indonesia untuk menggeluti dunia pertelevisian yaitu Desi Anwar yang menjadi presenter pertama perempuan dalam sebuah stasium televisi swasta pertama di Indonesia yaitu RCTI.
Karena walaupun banyak budaya-budaya patriarkal yang masuk dan mempengaruhi budaya Minangkabau, perempuan-perempuan Minangkabau tidak pernah kekurangan tokoh laki-laki yang memberitakan dan mendorong peran perempuan Minangkabau dalam masyarakat, seperti Tan Malaka, A.A. Navis dan lain-lain para cerdik pandai Minangkabau laki-laki lainnya.
Walaupun sepertinya terpinggirkan dan tidak dikenal jasa-jasanya di Indonesia dibandingkan dengan kaum laki-lakinya karena maskulinisasi sejarah dan pemberitaan, perempuan Minangkabau tetap memainkan peranan penting sampai saat kini. Malahan abad ke-21 ini tampaknya melambangkan kebangkitan kaum perempuan Minangkabau dengan munculnya tokoh-tokoh perempuan baru di ranah masyarakat.
Peran perempuan Minangkabau mengalami pasang surut, karena datangnya pengaruh dan penindasan budaya patriarkal baik lokal maupun dunia, akan tetapi perempuan-perempuan Minangkabau terus melawannya dan berhasil menghalau pengaruh-pengaruh buruk yang selalu bertujuan sama yaitu menindas dan menghilangkan peran perempuan Minang sebagai Bunda (baca: penghasil generasi baru manusia) dan di dalam masyarakat.
Mengatakan bahwa semua perempuan Indonesia bernasib sama atau seluruh perempuan di dunia bernasib sama adalah pernyataan tanpa dasar yang tidak berdasar pada kaji yang lengkap. Perempuan Minangkabau serta perempuan-perempuan dalam budaya matriarkal lainnya jelas tidak bernasib sama dengan perempuan-perempuan Jawa/Barat/Arab Saudi. Menyamaratakan segala sesuatu adalah hal yang berbahaya dan tidak bertanggung jawab. Tolok ukur barat mengenai kekuasaan, militerisme dan seksualitas tidak bisa dipakai untuk menilai peran serta dan keadaan perempuan pada budaya-budaya non-Barat atau non-patriarkal seperti budaya Minangkabau. Perempuan Minangkabau, sebelum tolok ukur barat dijadikan sebagai penafsir “kemajuan perempuan”, selalu memainkan peranan penting dalam masyarakat dan melakukan segala jenis pekerjaan yang ada di masyarakat Minang “tradisional” kala itu.
***
Tulisan ini saya persembahkan bagi Niniak, Uwo, Bunda, Etek, kakak perempuan kontan saya, dunsanak-dunsanak perempuan saya yang lain, kawan-kawan perempuan saya, cadiak pandai perempuan Minangkabau serta para Bundo Kanduang dan para Niniak yang telah berusaha merajut hubungan keluarga besar di rumah gadang dan kaum.
Komentar Terbaru