Posts Tagged ‘Jerman

03
Nov
10

Cendekiawan Sumbar Sesalkan Pernyataan Marzuki Alie

Bogor (ANTARA News) – Cendekiawan Sumatera Barat Dr Ir Ricky Avenzora, M.Sc, yang juga pengajar di Institut Pertanian Bogor menilai pernyataan Ketua DPR Marzuki Alie tentang bencana gempa dan tsunami di Mentawai naif dan melukai perasaan rakyat Sumbar.

“Pernyataan Marzuki Ali tentang tsunami di Mentawai itu tidak hanya menunjukkan kenaifan seorang pemimpin lembaga legislatif di negeri ini, tetapi juga sangat-sangat melukai perasaan anak negeri Sumatra Barat,” katanya di Bogor, Jawa Barat, Kamis.

Akademisi bergelar Sutan Linduang Kayo Nan Kayo Panungkek Datuak Tunaro Bagindo dari Desa Sumaniak, Batusangkar, ini menyikapi hal itu sehubungan dengan pernyataan Marzuki Ali di gedung DPR pada Rabu (27/10) bahwa musibah tersebut adalah risiko penduduk yang hidup di wilayah pantai.

Politisi Partai Demokrat itu juga menyatakan Kabupaten Mentawai jauh dan bencana tsunami tersebut konsekuensi bagi warga yang tinggal di pulau.

Marzuki mengatakan, seharusnya warga yang takut ombak jangan tinggal di daerah pantai. Alasannya, jika ada bencana seperti tsunami, proses evakuasinya menjadi sulit.

Bahkan ia juga menyarankan agar warga Mentawai dipindahkan saja, guna menghindari bencana serupa.

Menurut Ricky, jika sebagai pemimpin DPR-RI Marzuki Alie tidak bisa menunjukkan rasa empatinya kepada anak negeri Sumbar yang sedang berduka karena kehilangan sanak saudara yang menjadi korban tsunami di Mentawai, dia seharusnya tidak perlu mengeluarkan pernyataan yang tidak masuk akal dan tak berperasaan.

Marzuki Ali harus tahu bahwa tidak seorang pun di antara kami, anak negeri Sumatra Barat yang takut dengan ombak di pantai ataupun di lautan. Nenek moyang kami telah dikenal sebagai perantau-perantau ulung yang menyeberangi lautan dunia,” kata doktor lulusan Universitas George August Gottingen Jerman.

Ia juga meminta Marzuki Alie agar menyadari bahwa masyarakat tidak bisa dicabut dari akar kehidupan mereka untuk dipindahkan ke tempat lain seperti ide yang dilontarkannya.

“Berapa banyak kesanggupan Marzuki Alie untuk memindahkan semua masyarakat pesisir di negeri ini? Lalu akan dijual kemana oleh Marzuki Alie semua lahan pesisir di negeri ini?“, katanya.

***
Tulisan dari Antara News di atas, sengaja ditampilkan di blog ini  sebagai catatan penting  mengenai musibah gempa, tsunami, letusan gunung berapi yang akhir-akhir ini terjadi di pulau Sumatra dan Jawa, maupun mengenai kinerja daripada anggota DPR, pemerintah dan tokoh-tokoh politik lainnya yang layak menjadi pertimbangan dalam memilih anggota DPR, maupun partai politik serta presiden pada pemilu 2014 yang akan datang.

Berita-berita mengenai musibah ini akan diselingi dengan tulisan-tulisan dan postingan lainnya mengenai KKM (Kongres Kebudayaan Minangkabau) 2010 yang akan diadakan oleh para patriarch Minangkabau seperti Saafroeddin Bahar dan Mochtar Naim.

16
Feb
10

Puti Reno Oesman–Mantan Diplomat Wanita Siap Pimpin Sumbar

Setelah menjadi seorang diplomat dan mengembara diberbagai negara karena ditugaskan pemerintah pusat, Puti Reno Oesman pulang untuk membangun Ranah Minang. Puti Reno Oesman yang akrab dipanggil “One” adalah diplomat senior di Depertemen Luar Negeri (Deplu) yang telah memiliki pengalaman selama 31 tahun. Ia merupakan Bundo Kanduang yang dilahirkan di Padang, tahun 1947  lalu. Putri dari H. Soetan Oesman (alm) ini telah membulatkan tekad akan ikut bertarung dalam Pilkada Sumbar pada Juni 2010 ini.

“Saya pulang dan ingin membangun kembali Ranah Minang. Saatnya Minangkabau merasakan sentuhan tangan perempuan dalam memimpin, ungkapnya. Dikatakannya, sudah cukup lama dorongan untuk ia maju sebagai gubernur di Sumbar, namun Minister Counsellor ini masih memilih menyelesaikan tugas di Deplu. Terakhir One adalah Penanggungjawab Bidang Pensosbud KBRI Moscow, Rusia. Sebelumnya ia pernah ditugaskan di Thailand, Jerman, dan Australia.

Melihat langsung kondisi Sumbar pascagempa, saya bertekad harus membangun kembali berbagai sarana yang rusak, memulihkan mental masyarakat agar mereka tetap semangat menjalani hidup. Kini saya sudah pensiun dari Deplu dan ingin fokus membangun kampung halaman, “ungkapnya.

Dikatakannya, dulu Minangkabau pernah memiliki raja perempuan. Seorang Bundo Kanduang dengan segala potensi yang dimiliki dan perasaan yang halus akan bisa memberikan ketentraman bagi masyarakat. Hingga saat ini Minangkabau menjadi terkenal di seluruh dunia.

“Saya telah berkeliling dunia dalam melaksanakan tugas kenegaraan, orang di luar tahu kalau Minangkabau adalah suku bangsa yang unik dan sangat menghargai perempuan. Kini saatnya Minangkabau mengembalikan itu semua, “ungkapnya.

Dikatakan One, Minangkabau juga terkenal melahirkan banyak tokoh nasional yang berjuang untuk bangsa. Kemerdekaan Indonesia tak lepas dari peran besar orang Minangkabau, sebut Bung Hatta sebagai Proklamator. Lahirnya Pancasila dari pemikiran M Yamin. Perempuan Minangkabau juga telah memberikan kontribusi besar dalam perjuangan dan pendidikan, seperti Rahmah El Yunusiah di Padang Panjang.

“Saya yakin kalau kita komit dalam membangun kembali Minangkabau ini, kita akan jauh lebih baik dari kondisi yang ada sekarang. Apalagi kalau sumberdaya manusia  kita digali dengan bijak,  “katanya.

Foto dan tulisan dari Padang Today

***

Tulisan ini saya peruntukkan untuk para Bundo Kanduang Minangkabau yang telah berjasa dalam membangun kebudayaan, dalam mendidik anak-anak menjadi orang yang berjiwa merdeka dan peduli terhadap masyarakat, serta yang telah membangun hubungan dalam rumah gadang dan kaum.

Tulisan ini juga ditujukan untuk para Bundo Kanduang-Bundo Kanduang lain di Indonesia dan seluruh dunia yang dipanggil dengan sebutan Inang, Bunda, Ibu, Buk’e, Simbok, Umi, Mama, Omak, Mande, Mandeh, Mother, Amma, Amai, Amak, Mamak, Mami, Mamih, Induak, Induah, Mutter, Mutti, Ande, Madre, Maika,Maman, Mom, Mère, Mommy, Um dan Mata. Ini hanyalah sebagian saja dari nama-nama yang dipakai untuk menyebut perempuan yang telah mengandung dan melahirkan seluruh manusia yang ada di dunia ini.

Puti Reno Oesman, sebagaimana layaknya perempuan Minangkabau lainnya, menunjukkan kepedulian yang tinggi kepada masyarakat serta kemampuan dan kemauan perempuan pada umumnya dalam memimpin keluarga dan masyarakat.

Tulisan mengenai Bundo Kanduang calon gubernur Sumbar ini adalah salah satu dari rangkaian tulisan yang khusus menampilkan perempuan-perempuan Minangkabau beserta karya-karya mereka ataupun kiprah mereka di blog ini.

***

Baca juga:

Saya Bangga Jadi Perempuan Minangkabau

Emakku Hj. Nurma Abubakar Piliang-Perempuan Minang Tulen

Mamak-mamak Tidak Tahu Diuntung-Bagian 1

Meiy Piliang: Negeri Nurani Mati

Hanifah Damanhuri Oayobada: Lapau Maya

Daftar Politikus Berpoligami dan Pendukung Poligami

Poligami-Bagian 4

Perempuan Minangkabau sebagai Mamak dan Penghulu

Hanifah Damanhuri Oayobada: Bersatulah Perempuan Minang

07
Jun
09

Antara SARA, rasisme dan gugatan terhadap fasisme Jawa

Berbicara mengenai fasisme Jawa, yang lebih banyak dikenal sebagai Jawanisme atau Jawaisme di Indonesia, adalah suatu keharusan dan tanggung jawab moral bagi seluruh masyarakat Indonesia. Gugatan kepada fasisme Jawa harus dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab orang Indonesia terhadap korban-korban daripada fasisme Jawa itu sendiri. Selama ini, gugatan terhadap fasisme Jawa ataupun terhadap pelaku daripada tatanan politik fasis ini dibungkam dengan dalih-dalih ataupun sebutan-sebutan yang telah dikenal oleh banyak orang, yaitu anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (anti NKRI), anti Jawa, SARA maupun dengan sebutan rasis.

Tuduhan-tuduhan ini, sebagaimana layaknya tuduhan-tuduhan yang ditimpakan kepada orang-orang yang menggugat penguasa-penguasa fasis di banyak negara lainnya di dunia, bertujuan untuk membungkam dan menjelek-jelekkan nama baik orang-orang tersebut. Tuduhan-tuduhan ini juga tidak beralasan dan tidak layak digunakan, karena tidak ada satupun daripada pemakaian daripada tuduhan-tuduhan ini yang sesuai dengan kenyataannya.

Kata rasis jelas tidak layak dipakai, karena walaupun orang-orang yang menguggat fasisme Jawa ini adalah orang-orang Indonesia dari suku bukan Jawa, mereka tidaklah rasis dan bukan pemuja rasisme. Tambahan lagi, penggugat daripada fasisme Jawa ini bukan hanya orang bukan Jawa saja. Pramudya Ananta Tour, seorang sastrawan dan pemikir Jawa, merupakan salah satu penggugat fasisme Jawa yang disebutnya sebagai Jawanisme. Walaupun pendapat Pramudya mengenai fasisme Jawapun masih bias -karena pernyataannya mengenai fasisme Jawa yang seolah-olah terputus pada zaman Sukarno. Pramudya merupakan salah satu tokoh yang tidak sungkan-sungkan mengkritisi praktek-praktek fasisme Jawa ini. Selain daripada itu, kata rasis hanya layak dipakai untuk orang-orang yang memang benar-benar berbeda rasnya. Akan tetapi kenyataannya adalah, orang-orang Indonesia apapun sukunya tidaklah berbeda secara ras. Baik orang Jawa maupun orang dari suku-suku lainnya yang bukan Jawa adalah berasal dari dua ras atau yang menjadi satuan utama orang Indonesia, apapun suku bangsanya, yaitu ras mongoloid -lewat suku bangsa-suku bangsa Austronesia dari daerah yang disebut Taiwan sekarang ini dan ras negroid (orang kulit hitam yang telah lebih dahulu mendiami alam Indonesia). Banyak dari suku-suku di Indonesia merupakan hasil percampuran daripada kedua ras ini, yang menghasilkan orang-orang Indonesia yang berkulit coklat ataupun sawo matang. Yang membedakan mereka hanyalah budaya asli mereka maupun budaya asing yang datang yang mempengaruhi budaya asli ini, sekaligus seberapa jauh budaya asli ini menggantikan budaya-budaya “orang asli Indonesia” ini.

Orang-orang yang disebut sebagai orang-orang yang anti Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) malahan pada umumnya adalah orang-orang yang sangat peduli dengan keutuhan Republik Indonesia ini. Contoh nyata adalah orang Minang yang merupakan pendiri daripada Republik Indonesia ini. Kenyataan sejarah daripada peran orang-orang Minang dalam mendirikan Republik Indonesia, Tan Malaka sebagai pendiri dan arsitek daripada Republik Indonesia lewat tulisannya di tahun 1925, yaitu Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) dan perjuangan-perjuangannya yang hanya berhenti bersama dengan kematiannya, serta peran-peran daripada orang Minang disegala bidang, tidak bisa disangkal dan juga tidak pernah dibantah oleh orang-orang Minang sendiri. Orang-orang Minang sangat menyadari akan peran orang-orang tua mereka dulu, baik laki-laki maupun perempuan, demi terwujudnya tatanan masyarakat yang bernama Republik Indonesia. Karena itulah mereka menjadi orang-orang yang merasa paling bertanggung jawab akan kelangsungan Republik Indonesia ini. Lewat gerakan politik Sukarno, mereka dijadikan sebagai “pemberontak”, dan dihancurkan semangat politiknya dan semangat untuk membangun masyarakat -yang merupakan ciri utama masyarakat Minangkabau yang matriarchal ini- serta dicemarkan nama baiknya serta identitas kesukuannya. Perempuan-perempuannya diperkosa oleh tentara Sukarno dan lain-lain perbuatan biadab. Istilah NKRI kemudian dijadikan jargon untuk mengesahkan proses sentralisasi dan Jawanisasi. Kata kesatuan pada NKRI dan kata bersatu hampir selalu diartikan sebagai penyatakan setuju pada praktek-praktek sentralisasi dan Jawanisasi.

Jargon SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) adalah jargon yang dipakai pada zaman kekuasaan Suharto untuk membungkam kelompok oposisi yang menentang kebijakan-kebijakan dan kekejaman rezim orba. Lewat jargon ini, wacana mengenai suku dan agama menjadi tidak dimungkinkan dan terlarang. Padahal wacana dan diskusi mengenai suku, agama dan golongan (kelompok-kelompok dalam masyarakat) adalah sangat penting pada masyarakat majemuk seperti Indonesia. Kata ras dalam jargon ini jelas tidak layak dipakai karena seperti telah disebut di atas, hanya ada dua ras besar yang menjadi pembentuk masyarakat Indonesia dan sebagian terbesar daripada kedua ras besar ini sudah bercampur menghasilkan manusia-manusia Indonesia baru. Sifat asli masyarakat Indonesia sebenarnya juga tidak membesar-besarkan urusan ras ini. Jargon ini malahan membuat masyarakat Indonesia takut untuk menyebut istilah seperti “suku Jawa“, “orang Jawa“, “orang Papua” dan lain-lain. Padahal istilah-istilah ini dan masyarakat-masyarakat yang mewakilinya ada. Tambahan lagi, wacana maupun pembahasan mengenai istilah-istilah ini adalah sangat penting untuk terciptanya suatu kondisi saling memahami dari satuan-satuan masyarakat yang berbeda yang membentuk keseluruhan masyarakat Indonesia.

Tuduhan anti Jawa misalnya adalah salah satu tuduhan yang paling tidak bertanggung jawab. Karena dari arti kata saja sudah berbeda. Anti Jawa dan anti fasisme Jawa adalah dua ungkapan yang berbeda. Menyamakan kedua ungkapan ini adalah sama dengan menyamakan kata “Jawa” dengan ungkapan “fasisme Jawa“. Kedua hal ini jelas berbeda. Sebagaimana layaknya fasisme Jerman yang tidak sama dengan Jerman sebagai satuan budaya, ataupun fasisme Islam yang tidak sama dengan Islam yang merupakan satuan budaya/agama, fasisme Jawa sebagai tatanan politik tidak sama dengan Jawa yang merupakan satuan budaya. Anti Jawa jelas tidak sama dengan anti fasisme Jawa sama halnya dengan anti Jerman yang tidak sama dengan anti fasisme Jerman (Nazisme) ataupun anti Islam yang tidak sama dengan anti fasisme Islam.

Orang-orang yang menggugat fasisme Jerman ataupun yang anti fasisme Jerman tidak dapat dikatakan anti Jerman karena mereka umumnya adalah orang Jerman sendiri yang mengkritik kebiadaban daripada fasisme Jerman yang dikenal dengan Nazisme ini. Umumnya, mereka adalah orang-orang yang peduli terhadap budaya dan masyarakat Jerman. Demikian pula halnya dengan orang-orang yang menggugat fasisme Islam. Mereka pada umumnya adalah para cerdik pandai dalam ilmu-ilmu ke-Islam-an dan mereka juga sangat peduli terhadap negara-negara, budaya dan masyarakat Arab serta negara-negara dan masyarakat dengan pengaruh Islam lainnya yang bukan merupakan negara Arab. Orang-orang yang menggugat fasisme Jawa, justru kebanyakan adalah orang-orang cerdik pandai yang peduli dengan Republik Indonesia dan yang prihatin dengan korban-korban daripada fasisme Jawa. Korban–korban fasisme Jawa, tidak hanya terdiri dari orang-orang dari suku-suku bukan Jawa saja, melainkan orang-orang dari suku Jawa sendiri, yang merupakan masyarakat dengan jumlah terbesar di Indonesia.

Jawa adalah nama yang terdiri dari satu kata dan berarti secara umum dalam hal ini adalah “budaya Jawa“. Fasisme Jawa adalah sebuah istilah atau ungkapan yang mempunyai arti suatu tatanan politik fasis yang bersumber dari roh budaya Jawa ataupun yang lahir dari kandungan budaya Jawa, dan yang memakai simbol-simbol budaya Jawa dimana kelompok elit kekuasaannya terdiri dari orang Jawa atau orang yang berbudaya Jawa dan yang dalam perkembangannya mendapat pengaruh dan dukungan dari budaya-budaya fasis dunia lainnya.

Usaha-usaha untuk menggugat fasisme Islam dan fasisme Jerman misalnya telah dilakukan oleh para cerdik pandai dari masing-masing budaya itu sendiri. Di Indonesia, usaha-usaha untuk menggugat fasisme Indonesia yang dikenal dengan sebutan Jawanisme ini hampir selalu menemui jalan buntu. Seandainyapun dilakukan, orang-orang yang berusaha untuk melakukannya dikenai tuduhan dan diberi gelar penghianat negara dan bangsa, orang yang rasis, anti Jawa, SARA, maupun anti NKRI. Salah satunya yang telah melakukan gugatan terhadap fasisme Jawa seperti telah disinggung sebelumnya adalah Pramudya Ananta Tour. Itupun masih bias, karena Pramudya sebagaimana banyak orang-orang PKI ataupun pro PKI pada zaman Sukarno, adalah orang-orang yang memuja Sukarno. Bagi Pramudya, masa fasisme Jawa terputus pada masa Sukarno dan dilanjutkan kembali pada masa Suharto. Suatu analisis yang tidak jujur dan tidak bijaksana. Pendapat Pramudya ini jelas menyimpang karena Suharto jelas-jelas hanya melanjutkan dan menyempurnakan kebijakan-kebijakan fasis Sukarno. Mengenai Pramudya dan fasisme Jawa bisa dibaca pada tulisan terdahulu mengenai fasisme Jawa.

Walaupun Sukarno adalah seorang fasis, ia dilihat sebagai orang suci tanpa cela oleh orang-orang pro PKI, orang-orang PKI ataupun orang-orang yang mengaku dirinya sebagai “kelompok kiri“. Hal ini bukanlah hal yang aneh, karena itu adalah kecenderungan para “cerdik pandai” yang termasuk ke dalam “kelompok kiri”. Banyak orang-orang “kelompok kiri” adalah juga pemuja fanatik daripada diktator-diktator “kiri”, “merah”, “kekiri-kirian”, “pseudo kiri”, “pseudo merah” ataupun “kemerah-merahan” seperti Mao Zedong, Lenin, Stalin, Sukarno, ataupun Fidel Castro.

Masyarakat Jerman telah melakukan kritisi terhadap fasisme Jerman yang dikenal sebagai Nazisme ini. Ribuan laporan yang berupa tulisan, buku, film dokumenter, acara televisi dan lainnya dibuat, didiskusikan, diseminarkan dan diperdebatkan, oleh orang-orang Jerman sendiri sebagai bentuk oto-kritik. Bahkan oleh orang-orang Jerman yang merupakan bekas tentara fasis Jerman, orang-orang yang menjadi korban daripada Nazisme, orang-orang yang dahulunya dikenal sebagai kelompok rasis yang menjadi pendukung Nazisme itu sendiri maupun para cerdik pandai Jerman dari segala bidang. Negara Jerman boleh disebut sebagai “berhasil”, dalam usaha otokritiknya ini. Jerman yang dulu ditakuti sebagai “negara paling rasis” di dunia, kini boleh dikatakan menjadi negara yang telah sedikit banyaknya menghargai keragaman budaya atau yang berdasarkan istilah Jerman dikenal sebagai “multi-kulti” (beragam budaya).

Kemajuan diperoleh dari kemauan melakukan otokritik. Indonesia tampaknya bisa mencontoh Jerman untuk melakukan otokritik ini. Tidak ada yang perlu ditabukan untuk dibicarakan selagi hal itu menyangkut hajat hidup dan kemaslahatan orang banyak di Indonesia, termasuk kesalahan-kesalahan politik dan kekejaman-kekejaman dari tokoh-tokoh politik di masa lalu. Dan penulis yakin, orang Indonesia bisa melakukannya.

Catatan:

Asal-usul mengenai masyarakat Indonesia, masih harus ditelusuri lebih lanjut. Versi terakhir yang berlaku adalah suku bangsa-suku bangsa Austronesia dari Taiwan serta suku bangsa-suku bangsa Melanesia yang mendiamai daerah Timur Indonesia dan bahwa seluruh manusia diyakini berasal dari bangsa berkulit hitam yang dulunya mendiami benua Afrika dan pergi menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Pandangan mengenai ras sebenarnya sudah tidak relefan di zaman sekarang ini. Ilmu genetika telah menjawab hal-hal mengenai warna kulit, warna mata, warna rambut  dan lainnya yang selama ini dipakai sebagai dasar dari “teori ras”. Rambut pirang, merah dan coklat serta mata biru, mata hijau ataupun mata coklat muda, tidaklah melulu milik orang yang disebut sebagai “ras caucasoid” atau “ras orang kulit putih”; melainkan juga milik orang yang dikenal sebagai “ras negorid” dan “ras mongoloid”.

Tulisan ini adalah tulisan ketiga dari rangkaian tulisan mengenai fasisme Jawa. Baca juga tulisan terkait:

21
Mar
09

Saya Bangga Jadi Perempuan Minangkabau

Karena perempuan-perempuan Minangkabau telah, bisa dan selalu melawan kekuasaan-kekuasaan yang datang silih berganti yang berusaha menghancurkan ranah Minang entah itu atas nama jihad Islam kaum padri, Barat, pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat, yaitu para Bundo Kanduang, para Niniak/Niniek/Ninik (nenek), atau nama-nama seperti Siti Manggopoh, Rohana Kudus, Rasuna Said , Yeni Rosa Damayanti, Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, Rahmah El Yunusiyah, Aisyah Amini dan banyak lagi perempuan-perempuan Minangkabau lainnya.

Karena perempuan Minangkabau telah terbiasa memimpin masyarakat sebagai Bundo Kanduang dan juga mengambil alih kepemimpinan dari tangan laki-laki ketika laki-laki tidak berdaya apa-apa lagi seperti Siti Manggopoh yang memimpin penyerangan bersenjata terhadap Belanda bahkan ketika anaknya masih menyusu.

Karena perempuan Minangkabau dihargai kemampuan reproduksinya dan diakui hubungannya yang alami dengan anak dimana perempuan-perempuan lain dalam budaya patriarkal Indonesia maupun dunia hanya diperlakukan sebagai “mesin pembuat anak” atau “pengasuh anak daripada seorang laki-laki” dan diputuskan hubungan alaminya dengan anak-anak yang telah dikandungnya dan dilahirkannya.

Karena perempuanlah yang menjadi pemilik tanah dan harta kaum, yang telah terbukti berjasa dalam mempertahankan budaya Minangkabau dan identitas Minangkabau yang membuat kaum tetap memiliki kampung halaman ke mana mereka pulang sejauh apapun mereka merantau dan di mana dalam budaya lain, hampir seluruh tanah telah diperjual-belikan oleh pihak laki-laki dan telah beralih ke tangan para elit yang utamanya adalah laki-laki.

Karena perempuan-perempuan Minangkabaulah yang mengatur dan mengurus keluarga dan berhasil mencetak anak-anak menjadi pribadi-pribadi yang percaya diri dan kuat, yang bisa memimpin masyarakat dan menjadi orang-orang yang perannya terkenal di Indonesia dan negeri-negri Melayu seperti Malaysia, Singapura dan Brunei dan maupun dunia.

Karena perempuan Minangkabau selalu berhasil melawan kekuasaan daripada budaya-budaya patriarkal yang datang dari luar yang berusaha dan cenderung meminggirkan perempuan dari perannya dalam kehidupan masyarakat entah itu kekuasaan yang bernama Islam (fundamentalis ataupun tidak), kekuasaan Belanda atau Barat secara umum, kekuasaan yang bernama pemerintah daerah atau pusat serta kekuasaan yang berbentuk hukum yang menindas perempuan serta kekuasaan-kekuasaan patriarkal dunia lainnya.

Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi perempuan-perempuan pertama di banyak bidang kehidupan “modern” mulai dari jurnalisme/pers/media, dunia usaha, organisasi, pendidikan, seni/budaya, bidang-bidang intelektual dan lain-lain bidang.

Karena perempuan Minangkabulah yang menjadi perempuan pertama yang menjadi pendiri partai pertama di Indonesia, yaitu H.R. Rasuna Said.

Karena perempaun Minangkabaulah yang mendirikan surat kabar khusus perempuan pertama yaitu Rohana Kudus yaitu surat kabar Sunting Melayu.

Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi pendiri organisasi perempuan pertama di Indonesia yaitu Rohana Kudus yaitu organisasi Kerajinan Amai Setia pada tahun 1911.

Karena perempuan Minangkabaulah yang memelopori bidang usaha modern untuk kaum perempuan di Indonesia yaitu Rohana Kudus dengan bidang usaha Kerajinan Amai Setianya.

Karena perempuan Minangkabaulah yang mendirikan sekolah perempuan modern pertama yaitu Rohana School yaitu Rohana Kudus.

Karena perempuan-perempuan Minangkabau adalah perempuan-perempuan kuat yang juga memilki banyak kemampuan dan ketrampilan serta tetap dapat menjalankan fungsinya sebagai Bunda Penyayang bagi anak-anaknya.

Karena perempuan-perempuan Minangkabau bisa melakukan apa saja tanpa harus pusing-pusing belajar dan berkutat dengan “teori feminisme“/”teori pembebasan perempuan“/”teori pemberdayaan perempuan” dan lain sebagainya yang sebenarnya hanya berlaku untuk dan diperlukan oleh perempuan-perempuan dalam budaya patriarkal yang memang dilecehkan, ditindas dan dipinggirkan. Yang perlu dilakukan oleh perempuan Minangkabau adalah melawan pengaruh-pengaruh buruk dan merusak dari budaya-budaya patriarkal dunia yang masuk lewat satuan-satuan budaya dengan label agama, ideologi ataupun kekuasaan.

Karena ketika anak gadis-anak gadis lain diajarkan oleh Ibunya untuk menjerat laki-laki kaya walaupun sudah tua dan menjijikkan sekalipun, Bunda saya dan Bunda-Bunda Minang lain mengatakan kepada gadis-gadis Minang untuk bersama dengan laki-laki yang baik dan penyayang.

Karena perempuan-perempuan Minangkabau tidak dijarkan untuk patuh dan menurut kepada laki-laki lain yang dikenal sebagai “sang suami”, ketika gadis-gadis lainnya diajarkan untuk “melayani laki-laki yang menjadi suaminya” dan patuh tanpa syarat, dikarenakan tanggung jawab perempuan Minangkabau adalah terhadap anak dan keluarganya. Walaupun konsep-konsep seperti ini sudah mulai masuk ke dalam budaya Minangkabau lewat budaya-budaya patriarkal lokal maupun internasional yang berusaha menguasai ranah Minang.

Ketika anak gadis-anak gadis lain dipingit dan tidak dapat melakukan apa-apa perempuan Minangkabau bisa melakukan apa saja karena tidak pernah ada pemisahan yang jelas antara “pekerjaan laki-laki” atau “pekerjaan perempuan” pada masyarakat Minangkabau.

Karena perempuan Minangkabau diakui peranannya sebagai Bundo Kanduang (Bunda Penyayang), atau dalam perannya sebagai kekuatan untuk meneruskan generasi manusia di dunia. Oleh karenanya perempuan-perempuan Minangkabau yang telah memiliki keturunan diberi gelar Bundo Kanduang.

Ketika perempuan-perempuan lain dalam budaya patriarkal diberi tugas untuk harus dapat “melahirkan anak laki-laki”, “menyembah anak laki-laki” dan memdiskriminisakikan anak perempuannya bahkan kalau perlu membunuhnya di kandungan ataupun setelah di luar kandungan seperti banyak terjadi di India dan Cina serta di dalam budaya-budaya patriarkal zaman dulu, perempuan-perempuan Minangkabau mengandung dan melahirkan anak-anak tanpa memandang jenis kelamin.

Karena menjadi “perempuan” dalam budaya Minangkabau tidaklah hina seperti menjadi perempuan dalam budaya-budaya patriarkal baik di Indonesia maupun dunia.

Kerena ketika perempuan-perempuan dalam karya sastra (dan film) dari banyak budaya patriarchal lainnya hampir selalu digambarkan sebagai pelacur, perempuan yang diperkosa, perempuan yang dipukuli, perempuan yang dibunuh, perempuan yang dijual orang tuanya ke laki-laki lainnya, perempuan yang diberikan ke laki-laki yang berkuasa seperti nasib yang harus dijalani oleh RA Kartini yang disebut-sebut sebagai “pembebas perempuan Indonesia” itu, dan lain-lain perbuatan biadab terhadap perempuan, perempuan Minangkabau digambarkan sebagai Ibu Ratu bijaksana dalam tambo alam Minangkabau yaitu Bundo Kanduang dan juga sebagai perempuan-perempuan kuat dan mandiri dalam kaba (cerita klasik Minang). Sastra Minangkabau tidak mengenal perempuan sebagai pelacur atau tema-tema cerita-cerita lainnya yang melambangkan pelecehan, penindasan, kekerasan dan penghinaan serta penistaan terhadap kaum perempuan yang menjadi tema-tema utama di dalam budaya patriarkal baik lokal maupun dunia.

Karena budaya Minangkabau tidak mengenal perempuan sebagai pelacur, sebagai budak, baik dalam lembaga yang bernama “rumah tangga” maupun sebagai pembantu rumah tangga murah, sebagai anak yang dijual orang tuanya kepada laki-laki kaya, perempuan sebagai “obyek seks” dan lain-lain posisi perempuan yang rendah dan tertindas.

Karena perempuan Minangkabau sangat dihormati dalam fungsi keibuannya dan diberi gelar sama dengan gelar Ibu Asal Minangkabau yaitu Bundo Kanduang.

Karena perempuan Minangkabau dihormati dalam fungsinya sebagai cerdik pandai dan diberi gelar sama dengan gelar Ibu Asal Minangkabau yaitu Bundo Kanduang.

Karena budaya Minangkabau telah dan selalu melahirkan perempuan-perempuan hebat yang melawan begitu banyak kekuasaan patriarchal yang datang silih berganti ke ranah Bundo Kanduang dan yang berusaha menghancurkan ranah maupun budaya Bundo Kanduang seperti Siti Manggopoh, Rasuna Said, Rahmah El Yunusiyah, Rohana Kudus, Puti Reno Raudha Thaib, Yeni Rosa Damayanti, Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar, Dr. Ranny Emilia, Lany Verayanti dan masih banyak lagi lainnya.

Karena budaya Minangkabau banyak melahirkan perempuan-perempuan yang keras hati, teguh pendirian, dan kuat kemauan, kuat dalam menghadapi cobaan hidup, mandiri, dan memainkan peranan penting dalam keluarga, masyarakat baik di ranah Minang, Indonesia maupun dunia.

Karena perempuan Minangkabau sebagai janda tidak dipandang rendah atau bahkan harus mati dipanggang api karenanya, seperti yang umum terjadi dalam budaya-budaya yang dipengaruhi oleh Hindu seperti di India dan Jawa/Sunda. Perempuan Minangkabau akan didorong untuk kawin lagi sehingga tidak perlu menderita karena harus “bobok sendirian” 😉

Karena perempuan Minangkabau tidak dipandang dari sisi kelaminnya seperti perempuan-perempuan dalam budaya patriarkal, melainkan dari segi fungsinya sebagai Bunda bagi anak-anaknya, perannya dalam keluarga besar dan dalam masyarakat.

Karena ketika perempuan-perempuan lain dalam budaya patriarkal harus menelan hinaan-hinaan yang menyakitkan hati dan sangat merendahkan seperti kata-kata berikut dalam bahasa Jawa/Sunda/Jakarta (sundal, pelacur, perek, ayam, perempuan murahan, dll), Inggris (whore, slut, bitch, chick, cunt, dll), Jerman (Schlampe, Nutte, Flittchen, Hure, dll), Perancis (putain, pute) dan banyak lagi lainnya dalam berbagai bahasa-bahasa daripada bangsa-bangsa patriarkal lokal maupun dunia, budaya Minangkabau tidak mengenal cacian dan hinaan serupa itu. Satu panggilan untuk perempuan Minangkabau yang melambangkan penghormatan dan penghargaan yang tinggi yaitu  Bundo Kanduang. Lewat pengaruh-pengaruh budaya-budaya patriarkal baik lokal maupun internasional, sudah ada laki-laki dan juga sebagain kecil perempuan Minangkabau yang telah mulai menggunakan kata-kata hinaan dan cacian tersebut. Tapi hal itu masih bukan merupakan hal yang umum.

Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi pandeka Silat yang dikenal dunia yaitu Inyiak Upiak Palatiang.

Karena perempuan-perempuan Minangkabau adalah perempuan-perempuan pelopor dalam bidangnya masing-masing di Indonesia.

Karena perempuan-perempuan Minangkabau adalah pelopor-pelopor dalam bidang puisi di Indonesia.

Karena peremuan-perempuan Minangkabau adalah perempuan-perempuan menonjol dalam bidang penulisan seperti Saadah Alim, Leila S. Choidori dan banyak lagi lainnya.

Karena perempuan-perempuan Minangkabau adalah perempuan-perempuan yang berperan penting dalam dunia film dan theater seperti Eva Arnaz, Jajang Pamoentjak, Gusmiati Suid dan Sherina.

Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi penulis cerita pendek perempuan pertama di Indonesia yaitu Saadah Alim.

Karena perempuan Minangkabaulah yang aktif memperkenalkan budaya-budaya Indonesia ke manca negara yaitu Elly Kasim.

Karena perempuan Minangkabaulah yang aktif membela perempuan yang ditinda oleh para penguasa Islam seperti Inul yaitu Jajang Pamoentjak dan Yeni Rosa Damayanti.

Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi Ibu Pers Indonesia yaitu Rohana Kudus.

Karena perempuan Minangkabaulah yang menyelamatkan per-film-an Indonesia setelah sekarat hampir 20 tahun lamanya yaitu artis kecil Sherina, yang menyelamatkan per-film-an Indonesia pada saat ia baru berumur 10 tahun lewat film-nya yang sangat terkenal yaitu Petualangan Sherina.

Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi anggota kehormatan dari lembaga hak-hak asasi manusia untuk pemberitaan mengenai senjata pemusnah masal yaitu The Weapons of Mass Destruction Commission, yang berkedudukan di Swedia yaitu  Prof. Dr. Dewi Fortuna Anwar.

Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi Ibu dari dunia tari kontemporer Indonesia, yang membuat nama Indonesia diakui di dunia Internasional dengan tari kontemporernya yang berdasarkan pada budaya Minangkabau Silek (silat) yaitu Gusmiati Suid, pendiri sanggar tari Gumarang Sakti.

Karena perempuan Minangkabaulah yang merupakan aktivis mahasiswa yang ditakuti Suharto yaitu Yeni Rosa Damayanti yang dipenjarakan olehnya lebih dari satu tahun lamanya dalam kasus “21 mahasiswa” dan yang diasingkan olehnya di negri Belanda setelah peristiwa di kota Dresden, Jerman.

Karena Ibu saya ada banyak, saya panggil mereka Mak Gaek, Uwo, Mama dan Etek.

Karena saya tidak pernah diajarkan oleh Ibu saya dan budaya saya untuk menyembah laki-laki dan memasrahkan kehidupan saya ditangan laki-laki seperti nasib banyak perempuan-perempuan lainnya dalam budaya patriarkal.

Karena saya sebagai perempuan bisa jauh merantau, dan karenanya bisa tau banyak hal dan bisa melihat banyak hal. Karena Ibu saya tidak pernah mengatakan hal-hal berikut ini: “Ah, kamukan perempuan tidak usah sekolah tinggi-tinggi”, “sebagai perempuan kamu harus melayani suami”, dan lain-lain ucapan yang merendahkan anak perempuan dan menghilangkan semangat anak perempuan yang biasa dilakukan oleh ibu-ibu pemuja phallus (kelamin laki-laki) pada budaya patriarkal.

Karena masyarakat Minangkabau adalah masyarakat matriarchat terbesar di dunia.

Karena masyarakat Minangkabau adalah masyarakat matriarchat yang “termodern” di dunia.

Karena masyarakat Minangkabau adalah masyarakat matriarchat yang paling stabil di dunia.

Karena Minangkabau menjadi lambang perlawanan budaya matriarchat yang diperangi oleh budaya patriarchat selama ribuan tahun.

Karena perempuan-perempuan Minangkabau berhasil bertahan dan selalu melakukan perlawanan atas penindasan dan usaha-usaha memerangi perempuan dan budaya Minangkabau. Sampai sekarang.

Karena perempuan-perempuan Minangkabau memainkan peranan penting dalam melawan arus kekuatan-kekuatan patriarkal besar dunia, Hindu/Budha-India, Hindu/BudhaJawa, Konfusianisme/BudhaCina, KatolikPortugis, BudhaSriwijaya, AcehIslam, ArabIslam, KristenBelanda, KristenInggris, BudhaJepang, Kristen/Globalisasi/Kapitalisme TurboAmerika Serikat/Inggris serta Kristen/Misionaris Barat.

Karena perempuan-perempuan Minangkabau memainkan peranan penting dan sangat berpengaruh di Indonesia (dalam arti yang baik tentunya) dalam bidang budaya, bahasa, sastra, politik, sejarah, pers, gastronomi, dan lain sebagainya, walaupun di dalam pemberitaan atau buku sejarah Indonesia hampir tidak disebutkan.Perempuan Minangkabau hilang dari lembaran-lembaran pemberitaan dan sejarah Indonesia lewat jawanisasi, Islamisasi, Arabisasi, Eropaisasi dan maskulinisasi sejarah.

Karena perempuan Minangkabaulah yang menjadi teladan bagi banyak gadis-gadis remaja di Indonesia untuk menggeluti dunia pertelevisian yaitu Desi Anwar yang menjadi presenter pertama perempuan dalam sebuah stasium televisi swasta pertama di Indonesia yaitu RCTI.

Karena walaupun banyak budaya-budaya patriarkal yang masuk dan mempengaruhi budaya Minangkabau, perempuan-perempuan Minangkabau tidak pernah kekurangan tokoh laki-laki yang memberitakan dan mendorong peran perempuan Minangkabau dalam masyarakat, seperti Tan Malaka, A.A. Navis dan lain-lain para cerdik pandai Minangkabau laki-laki lainnya.

Walaupun sepertinya terpinggirkan dan tidak dikenal jasa-jasanya di Indonesia dibandingkan dengan kaum laki-lakinya karena maskulinisasi sejarah dan pemberitaan, perempuan Minangkabau tetap memainkan peranan penting sampai saat kini. Malahan abad ke-21 ini tampaknya melambangkan kebangkitan kaum perempuan Minangkabau dengan munculnya tokoh-tokoh perempuan baru di ranah masyarakat.

Peran perempuan Minangkabau mengalami pasang surut, karena datangnya pengaruh dan penindasan budaya patriarkal baik lokal maupun dunia, akan tetapi perempuan-perempuan Minangkabau terus melawannya dan berhasil menghalau pengaruh-pengaruh buruk yang selalu bertujuan sama yaitu menindas dan menghilangkan peran perempuan Minang sebagai Bunda (baca: penghasil generasi baru manusia) dan di dalam masyarakat.

Mengatakan bahwa semua perempuan Indonesia bernasib sama atau seluruh perempuan di dunia bernasib sama adalah pernyataan tanpa dasar yang tidak berdasar pada kaji yang lengkap. Perempuan Minangkabau serta perempuan-perempuan dalam budaya matriarkal lainnya jelas tidak bernasib sama dengan perempuan-perempuan Jawa/Barat/Arab Saudi. Menyamaratakan segala sesuatu adalah hal yang berbahaya dan tidak bertanggung jawab. Tolok ukur barat mengenai kekuasaan, militerisme dan seksualitas tidak bisa dipakai untuk menilai peran serta dan keadaan perempuan pada budaya-budaya non-Barat atau non-patriarkal seperti budaya Minangkabau. Perempuan Minangkabau, sebelum tolok ukur barat dijadikan sebagai penafsir “kemajuan perempuan”, selalu memainkan peranan penting dalam masyarakat dan melakukan segala jenis pekerjaan yang ada di masyarakat Minang “tradisional” kala itu.

***

Tulisan ini saya persembahkan bagi Niniak, Uwo, Bunda, Etek, kakak perempuan kontan saya, dunsanak-dunsanak perempuan saya yang lain, kawan-kawan perempuan saya, cadiak pandai perempuan Minangkabau serta para Bundo Kanduang dan para Niniak yang telah berusaha merajut hubungan keluarga besar di rumah gadang dan kaum.

04
Feb
09

Zeitgeist-the movie

Berikut bisa disaksikan video dari youtube yang berjudul Zeitgeist yang berkisah mengenai asal-usul agama langit yang merupakan agama-agama masyarakat patriarchat, 9/11, kritik terhadap lembaga-lembaga keagamaan,pandangan hidup Kristen, kartel perbankan internasional dan mengenai perang, perampokan, pembantaian, penghancuran, penindasan, pembunuhan, dan penjajahan yang merupakan  ciri-ciri budaya patriarchat yang bertumpu pada cara-cara divide and conquer (pecah-belah dan hancurkan).

Agama langit adalah penyembahan benda-benda langit yang bertumpu pada ilmu mengenai benda-benda langit (astrologi). Surga atau sarugo (Minang) dalam bahasa Inggris adalah heaven yang berarti langit dan dalam bahasa Jerman Himmel yang juga berarti langit. Kata surga sendiri berasal dari bahasa sanskrit: svarga yang juga berarti langit. Bahasa Sanskrit itu sendiri adalah bahasa yang dipakai oleh agama Hindu/Budha India. Di video ini dijelaskan mengenai evolusi agama-agama patriarkat dari penyembahan benda-benda langit terutama matahari dari masa Mesir Kuno, Yahudi, Kristen (yang dimulai pada masa kekaisaran Romawi), sampai sekarang.

Di film dijelaskan mengenai bagaimana para patriarch (bapak-bapak penguasa dunia) merencanakan peristiwa peledakan gedung WTC atau yang lebih dikenal sebagai peristiwa 9/11 (peristiwa 11 September).

Lebih lanjut lagi dijelaskan bagaimana globalisasi atau pembentukan satu pemerintahan dunia di bawah para patriarch (penguasa budaya patriarchat) yang utamanya terdiri dari para patriarch daripada kartel perbankan internasional dengan tujuan akhir: kendali mutlak atas tiap manusia di dunia lewat penguasaan media dan cuci otak lewat televisi serta penanaman mikrochip RFID (Radio Frequency Identification) di tubuh tiap anggota masyarakat desa dunia atau yang lebih dikenal lewat jargon global village.

Agama Islam dalam hal ini tidaklah merupakan agama langit sepenuhnya melainkan merupakan campuran daripada agama-agama atau pandangan hidup patriarchat dan budaya matriarchat Arab, karena pada saat masyarakat Eropa telah lama menganut budaya patriarchat seperti di Yunani Kuno dan kekaisaran Romawi, masyarakat Arab masih berbudaya matriarchat. Masyarakat Arab pada masa itu sebagaimana layaknya masyarakat matriarchat dunia lainnya memuja alam/bumi bukan sebagai Dewa/Tuhan yang bersifat menghukum melainkan alam/bumi yang merupakan sumber kehidupan yang memberi segalanya untuk manusia sebagaimana layaknya Bunda yang menyayangi seluruh anak-anaknya dan yang memberikan segala yang dibutuhkan oleh anak-anaknya. Oleh karena itulah masih banyak ajaran-ajaran dalam Islam ataupun pandangan-pandangan hidup dalam Islam yang sama dan mirip-mirip dengan pandangan hidup masyarakat matriarchat. Ritual mencium tanah/bumi pada saat sembahyang adalah ritual yang biasa dilakukan oleh masyarakat Arab sebelum pengaruh dari agama-agama/pandangan hidup patriarchat seperti Yahudi, Nasrani, Yunani Kuno dan lainnya datang dan menguasai tanah Arab.

Catatan:

Walaupun video ini berbahasa Inggris dan pembaca tidak menguasai bahasa Inggris, dicoba saja untuk menontonnya. Bisa diulang bagian mana yang tidak terlalu mengerti. Kalau memang sudah berusaha, dan tetap tidak mengerti, bisa dituliskan di komentar, pada menit ke berapa sampai menit ke berapa yang pembaca tidak bisa mengerti. Saya akan tuliskan ringkasannya. Selamat menonton 🙂




Juni 2024
S S R K J S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930

Blog Stats

  • 238.885 hits