Serangan-serangan yang tidak santun serta blunder yang dilakukan oleh kubu SBY, disengaja ataupun tidak, bisa dilihat sebagai tanda-tanda akan kalahnya SBY. Tanpa mukjizat dan kecurangan yang diperkirakan akan terjadi dalam pilpres mendatang terkait DPT yang bermasalah, SBY mustahil bisa memenangkan pilpres 2009 ini. Mimpi pilpres satu putaran yang dimotori hanya oleh segelintir lembaga survei, yang pada gilirannya dibiayai oleh Fox Indonesia yang menjadi konsultan SBY, tampaknya hanya tinggal mimpi. SBY sangat mungkin terhempas, bahkan pada putaran pertama. Kalaupun sampai pada putaran kedua, maka sudah bisa dipastikan akan tergusur lewat koalisi besar dari kubu JK-Win dan Mega-Pro.
Koalisi SBY yang tampaknya wah dan besar, adalah koalisi “kosong”. Pemilihan Boediono sebagai cawapres ditengarai sebagai pemicunya. Partai-partai Islam yang merupakan pendukung koalisi SBY yang paling terpenting dan paling setia, tampak sekali tidak dipandang oleh SBY. Reaksi keras yang ditunjukkan oleh Amien Rais dan orang-orang dari partai PKS seperti Tifatul Sembiring selepas pencawapresan Boediono, telah membuat kader-kader dan pendukung-pendukung daripada partai-partai pendukung SBY memikir ulang kembali pilihan mereka yang telah tetap dan pasti sebelumnya kepada SBY.
Pendukung-pendukung dari PKS yang sejak jauh-jauh hari mewacanakan duet SBY dan Hidayat Nur Wahid terpaksa harus menelan pil pahit dan rasa terhina karena hanya dipandang sebelah mata oleh SBY walaupun mereka adalah pendukung setia dari wacana SBY sebagai presiden. Perasaan terhina karena telah “kecolongan” dan hanya dijadikan alat untuk memenangkan SBY, serta “penghianatan” demi “kursi” yang ditengarai dilakukan tokoh-tokoh partai PKS selepas reaksi keras menyusul pencalonan Boediono sebagai capres dari kubu SBY, telah membelah suara kader PKS yang sebelumnya telah bulat untuk mendukung SBY. Pernyataan dari Zulkieflimansyah mengenai jilbab daripada istri-istri pasangan capres dan cawapres JK-Win, malah menyebabkan bertambahnya dukungan kader dan pendukung PKS dari kubu SBY ke kubu JK-Win. Pada forum-forum di dunia maya, pernyataan pendukung-pendukung PKS mengenai penyesalannya akan suara yang mereka berikan kepada pileg lalu kepada PKS, rasa malu akan tindak-tanduk petinggi partai PKS, serta dukungan yang akan mereka pindahkan pada pasangan capres dan cawapres yang lain, menunjukkan bahwa dugaan akan koalisi kubu SBY dengan PKS adalah koalisi kosong bukan isapan jempol saja. Petinggi-petinggi PKS memang tetap berkoalisi dengan kubu SBY, tapi sebagain kader-kader dan pendukung-pendukung fanatik PKS telah “lari ke lain hati“
Pernyataan Amien Rais dari kubu PAN yang kecewa lantaran tidak terpilihnya Hatta Rajasa sebagai cawapres SBY, juga merupakan pemicu daripada terbelahnya suara PAN. Amien Rais memang telah mengeluarkan pernyataan membebaskan pendukung-pendukung partai PAN mendukung capres dan cawapres yang lain. Hal ini menjadi penyebab larinya dukungan PAN kepada pasangan capres dan cawapres yang lain. Sejak terpilihnya Boediono, kader-kader partai PAN disebut-sebut bermain “dua kaki” atau “tiga kaki”. Peringatan Amien Rais sendiri terhadap SBY mengenai pasangan JK-Win yang mewakili pasangan nusantara dan kombinasi Islam-Nasionalis dan Sipil-Militer, yang tidak digubris oleh SBY, membuat semakin banyak dukungan dari PAN yang berpindah dari SBY. Ini dinyatakan dengan keterlibatan tokoh-tokoh PAN seperti Alvin Lie dan Drajat Wibowo sebagai pendukung pasangan JK-Win dan dukungan kelompok muda PAN yang juga diberikan kepada kubu JK-Win.
Dari hari ke hari dukungan kepada SBY terus berkurang, dan dukungan kepada pasangan capres dan cawapres lainnya terutama JK-Win terus bertambah. Banyak pernyataan-pernyataan tidak santun dari tim sukses dari kubu SBY yang mengklaim menjalankan politik “santun” ini, ditengarai sebagai penyebab kebulatan tekad sekelompok masyarakat untuk mengalihkan dukungan mereka kepada pasangan lainnya. Pernyataan Ruhut Sitompul misalnya mengenai bahwa “orang Arab tidak pernah membantu Indonesia, dan bahwa yang membantu Indonesia adalah Barat“, dianggap sebagai pernyataan rasis yang menyebabkan bulatnya dukungan masyarakat Arab kepada JK-Win yang menjadi kubu di mana Fuad Bawazier, yang menjadi sasaran hinaan Ruhut Sitompul ini, menjadi anggota tim sukses. Pernyataan Ruhut ini, adalah pernyataan tidak berdasar yang hanya menunjukkan minimnya pengetahuan sejarah daripada anggota tim sukses SBY, menunjukkan pemujaan kepada Barat yang berlebihan, serta tidak santunnya gerakan politik SBY. Negara-negara Arab mewakili negara-negara pertama yang mendukung dan mengakui kemerdekaan Indonesia. Negara-negara Arab juga menjadi lambang daripada tempat di mana orang-orang Indonesia, yang merupakan perwakilan kelompok Islam yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini, belajar. Sedangkan Barat adalah representasi dari penjajah di Indonesia, gaya lama maupun gaya baru, lewat serangan bersenjata ataupun lewat utang dan penjajahan ekonomi.
Isu neoliberalisme dan pembahasan mengenai ekonomi kerakyatan yang lebih mewakili sifat ekonomi Indonesia yang menyusul sesudahnya, jelas mempengaruhi turunnya tingkat elektabilitas kubu SBY. Hal ini juga merupakan salah satu sumber terpenting daripada menurunnya dukungan terhadap kubu SBY dari banyak kelompok, terutama pendukung dari partai-partai, kelompok muda dan terpelajar, kelompok LSM dan aktivis HAM, kelompok-kelompok intelektual lainnya serta para ahli ekonomi yang menolak neoliberalisme di Indonesia.
Label pro-Asing tampaknya tidak dicoba untuk ditutup-tutupi oleh kubu SBY. Kubu SBY misalnya terkesan bangga bahwa deklarasi Sabuga misalnya adalah meniru deklarasi Obama. Padahal, kubu JK-Winlah yang menjadi simbol dari Obama di Indonesia. Lebih lanjut lagi, deklarasi yang diselenggarakan dengan penuh kemewahan tersebut malah menuai kecaman karena tidak menunjukkan kepedulian yang hanya bersifat unjuk kemewahan, ketika banyak orang Indonesia yang mati kelaparan karena kurang makan dan banyak anak-anak Indonesia yang kurang gizi. Pernyataan SBY mengenai Amerika Serikat yang dianggap sebagai negara keduanya dengan segala kekurangannya tidak bisa diterima akal sehat karena menerima segala kekurangan AS berarti menerima pemboman rakyat Irak dan rakyat Afghanistan, penyiksaan di penjara Guantanamo, masalah-masalah rakyat Palestina, pembantaian masyarakat Indian dan diskriminasi masyarakat kulit hitam dan keturunan Amerika latin di AS, gerakan-gerakan politik AS di Amerika Latin yang membawa kesengsaraan puluhan juta manusia di belahan selatan benua Amerika tersebut, serta kepentingan neoliberalisme AS di Indonesia yang menyebabkan Indonesia terjerat utang dan larinya sumber-sumber ekonomi Indonesia ke tangan asing. Padahal isu utang sendiri merupakan salah satu penyebab turunnya dukungan kepada SBY.
Kelompok perempuan adalah kelompok yang kemungkinan paling sedikit memilih kubu SBY. Kubu SBY mengklaim mewakili perempuan atau merupakan partai yang mewakili perempuan. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Walaupun SBY telah berusaha mendapatkan dukungan dari 4 orang perempuan yang disebut sebagai “srikandi politik” atau “diva-diva politik” seperti Meutia Hatta, Kartini Syahrir, Amelia Yani, dan Rachmawati Soekarno Putri, keempat perempuan ini adalah kelompok elit, yang tidak mewakili suara perempuan Indonesia. Mereka memang anak tokoh atau orang yang mewakili partai, tapi kenyataan bahwa mereka mewakili perempuan Indonesia sangatlah diragukan. Meutia Hatta walaupun anak daripada tokoh Minang Bung Hatta, tetaplah bukan Bung Hatta. Rachmawati Soekarnoputri adalah anak Sukarno, tapi juga bukan Bung Karno. Amelia Yani adalah anak Ahmad Yani akan tetapi bukanlah Ahmad Yani. Kartini Sjahrir walaupun sekarang menjadi Ketua Umum Partai Perjuangan Indonesia Baru (Partai PIB), hanyalah mewarisi jabatan tersebut dari suaminya, orang Minang bernama Syahrir atau yang lebih dikenal dengan panggilan Ci’il yang merupakan pendiri partai PIB. Keempat perempuan ini mendukung SBY karena pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti pernah menjabat mentri pada pemerintahan SBY-JK, seperti Meutia Hatta atau pertimbangan lainnya. Kepentingan perempuan yang katanya mereka dan kubu SBY wakili, tidak jelas kepentingan apa saja. Padahal kubu SBY mewakili partai-partai pendukung poligami dan pelaku poligami terutama PKS, PPP dan PD. PKS misalnya ditengarai sebagai partai yang mengusahakan UU Anti-Pornografi yang mengebohkan tersebut dibantu partai-partai lainnya termasuk diantaranya PD. UU ini jelas ditujukan terutama untuk mengontrol tubuh perempuan Indonesia dan budaya Indonesia, dan secara bersamaan membebaskan dan mendukung laki-laki untuk berpoligami. Klaim kubu SBY sebagai partai yang “mendukung perempuan” serta pernyataan Meutia Hatta, bahwa SBY peduli terhadap perempuan karena memilih beberapa perempuan sebagai mentri adalah tidak beralasan. Pertama, mentri-mentri perempuan merupakan pilihan SBY dan JK bersama-sama. Meutia Hatta sendiri ditengarai sebagai orang “yang dibawa” oleh JK untuk menjadi mentri. Kedua, dengan jadinya beberapa perempuan menjadi mentri, yang masih tergolong sedikit itu, tidak menjamin membaiknya posisi perempuan ketika yang didukung oleh “diva-diva politik” ini adalah kubu dan partai-partai yang berisi pelaku poligami, peleceh dan pembenci tubuh perempuan serta pendukung neoliberalisme. Keadaan ekonomi, di semua negara, termasuk di negara-negara Barat yang dipuja-puja oleh kubu SBY tersebut, adalah penyebab termiskinkannya perempuan, penyebab terpaksanya perempuan-perempuan bekerja di sektor-sektor yang mewakili apa yang disebut sebagai perbudakan modern, serta sektor yang mewakili ekonomi “tidak resmi” yang melecehkan harga diri perempuan, yaitu pelacuran. Yeni Rosa Damayanti, koordinator SPI (Solidaritas Perempuan Indonesia) yang mengeluarkan daftar caleg berpoligami dan pendukung poligami sebelum pileg lalu dan Dita Indah Sari, wakil buruh yang keduanya pernah dipenjarakan oleh Suharto, lebih layak menyandang gelar diva-diva politik. Mereka juga jelas-jelas menyuarakan kepentingan perempuan Indonesia. Dan suara mereka jelas tidak diwakili oleh kubu SBY yang mewadahi partai-partai doyan poligami seperti PKS, PPP dan PD. Dita Indah Sari sebagai wakil buruh termasuk buruh perempuan, yang merupakan buruh dengan kondisi yang paling buruk di Indonesia, telah menyuarakan dukugannya kepada kubu JK-Win.
Pernyataan kubu SBY mengenai “kapitalis rambut hitam” malah menuai kecaman. Pernyataan ini jelas berasal dari ketidakpahaman kubu SBY dan SBY sendiri tentunya mengenai istilah “kapitalis” serta kerancuan yang didasarkan atas disamakannya istilah “kapitalis” dengan semua istilah-istilah yang mengacu kepada profesi-profesi yang berhubugnan dengan perdagangan, seperti istilah pedagang, saudagar dan pengusaha. Istilah ini juga dianggap merupakan bukti dukungan kubu SBY terhadap “kapitalis-kapitalis rambut pirang” alias “kapitalis Barat“. Istilah ini malah hanya memperburuk kesan pro-Asing yang telah dilabelkan kepada kubu SBY. Karena pernyataan ini pulalah, Ketua APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) Sofyan Wanandi menyatakan dukungannya yang terbuka kepada kubu JK-Win.
Walaupun SBY didukung oleh kalangan seniman dan “intelektual” yang diwakili misalnya oleh Goenawan Muhamad dan Ayu Utami, mereka tidaklah mewakili kelompok intelektual Indonesia yang amat sangat banyak jumlahnya. Mereka mungkin bisa menarik orang-orang di sekitar mereka saja. Tapi kelompok-kelompok cerdik pandai di Indonesia, seperti telah disebut sebelumnya, tidak terhitung banyaknya. Goenawan Muhamad bukan representasi intelektual Indonesia. Ia adalah “intelektual” dari kelompok tertentu dan kelompok tua, yang masanya sudah selesai. Ayu Utami, yang dianggap mewakili kelompok perempuan Indonesia, jelas bukan representasi perempuan Indonesia dan kepentingan perempuan Indonesia. Jika ia dikatakan mewakili sekelompok perempuan Indonesia di perkotaan yang memuja perempuan-perempuan Barat sebagai “teladan”, mungkin ya. Menulis novel tentang seks, datang dari dan besar dalam budaya patriarkal yang melecehkan dan merendahkan perempuan, membaca beberapa literatur dari “feminis-feminis Barat” serta hanya “mengintil” Goenawan Muhamad, tidak menjanjikan apa-apa untuk perempuan Indonesia.
Kelompok-kelompok muda, terpelajar dan kritis jelas tidak akan memilih kubu yang mewakili neoliberalisme, fasisme Islam, kelompok pilkada Jawa Timur dan kelompok-kelompok yang menggelontorkan UU Anti-Pornografi, yang merupakan elemen utama koalisi besar SBY, yaitu partai-partai Islam terutama PKS.
Kelompok-kelompok perkotaan yang tidak menyetujui UU Anti-Pornografi jelas tidak akan memilih kubu SBY, karena di kubu SBY-lah orang-orang ini berada. Jumlah mereka tidak sedikit. Dukungan kemungkinan akan mereka alihkan kepada kubu Mega-Pro, karena partai GOLKAR yang diwakili JK juga termasuk ke dalam partai yang menyetujui UU Anti-Pornografi ini. Orang-orang ini termasuk kedalam kelompok orang-orang yang peduli dengan budaya masyarakat Indonesia serta dengan kemajemukan yang menjadi ciri dari bangsa Indonesia.
SBY dan kelompok kecilnya telah memperlihatkan sifat kekuasaan yang autokratik. Kelompok ini terdiri dari kekuatan militer -karena posisinya sebagai seorang militer dan presiden yang sedang menjabat, serta posisi keluarganya dan orang dekatnya dalam jabatan-jabatan militer seperti Pangkostrad, Danjen Kopassus dan Pangti-, Malarangeng bersaudara yang lebih dikenal sebagai “si kumis bersaudara” yang sudah mulai tidak disukai masyarakat, Hatta Rajasa yang hanya merupakan pendukung setia dari SBY tanpa basis dukungan PAN yang jelas, Boediono yang telah menuai penolakan bertubi-tubi dari berbagai elemen masyarakat Indonesia, Anas Urbaningrum, Marzuki Alie serta kelompok-kelompok survei bayaran yang dimotori oleh Syaiful Mujani dan Denni JA. Nama-nama ini telah menuai kecaman dari banyak pihak, karena mereka telah menunjukkan keangkuhan dan klaim-klaim kosong selama jalannya pilpres 2009 ini.
Kubu SBY tampaknya terlalu meremehkan begitu banyaknya kelompok intelektual di Indonesia serta kader-kader dan pendukung-pendukung setia dari partai-partai yang menjadi tulang punggung SBY sendiri, yaitu partai-partai Islam.
Selain dari kader-kader PKS yang masih fanatik untuk mendukung SBY, sudah hampir dipastikan bahwa lebih banyak orang-orang yang mewakili kelompok Islam, entah dari PKS, NU ataupun Muhamadiyah, yang akan mendukung kubu JK-Win. Hal ini terjadi disamping karena kekecewa danengan “ulah” petinggi-petinggi PKS, “ulah” Amien Rais, issu “jilbab loro” di kubu JK-Win, juga karena kedekatan JK dengan kelompok NU, Muhamadiyah dan HMI. Dari kelompok-kelompok agama-agama non Islam dan nasionalis, pada umumnya diperkirakan akan memilih kubu Mega-Pro karena kubu SBY yang pekat dengan rona Islamnya terutama rona PKS yang ditengarai sebagai “tidak hanya tidak ramah terhadap kelompok non-Islam bahkan dengan kelompok-kelompok Islam dari brand-brand tertentu“.
Isu Jawa dan non-Jawa serta isu pasangan pilkada Jawa Timur yang diwakili oleh kubu SBY jelas suatu faktor yang penting. Harapan masyarakat di luar Jawa akan pemerataan pembangunan misalnya, tidak diwakili oleh kubu SBY. Masyarakat-masyarakat di daerah-daerah “bermasalah” yang umumnya terdapat di luar Jawa seperti Aceh, Maluku, Poso dan Papua misalnya, jelas bukan kelompok yang diwakili oleh kubu SBY. Masyarakat dari daerah-daerah ini sudah dapat dipastikan akan lebih condong ke pasangan JK-Win. Daerah-daerah tertinggal di Indonesia yang lagi-lagi berada di luar Jawa, pada umumnya akan memilih pasangan JK-Win terutama di daerah bagian timur yang mewakili pulau-pulau seperti pulau Sulawesi darimana Jk berasal, pulau Kalimantan dan Papua. Pasangan Mega-Pro juga ditengarai bisa mengambil suara di bagian Timur Indonesia ini walaupun tidak akan terlalu signifikan seperti kubu JK-Win. Kelompok-kelompok masyarakat yang mewakili kelompok-kelompok yang merupakan korban kezaliman fasisme Jawa, seperti masyarakat Minang (peristiwa PRRI), Aceh (DOM dan GAM), Ambon, Poso dan Sulawesi (peristiwa Permesta), masyarakat Papua -yang dibiarkan tertinggal dan miskin sementara emas mereka diberikan kepada Freeport-, serta kelompok perempuan Indonesia yang menjadi korban pemerkosaan dan lain-lain perbuatan biadab daripada tentara-tentara yang mewakili fasisme Jawa di daerah-daerah konflik di Indonesia seperti Aceh, Minangkabau, Lampung, Ambon, Sulawesi dan lainnya, jelas bukan kelompok yang akan mendukung SBY yang merupakan bagian dari dinasti politik militer daripada jendral yang membangun ORBA bersama-sama Suharto, yaitu dinasti daripada Jendral Sarwo Edhi Wibowo.
Usaha SBY untuk menguasai suara lewat para Gubernur tampaknya juga menemui jalan buntu. Fadel Muhamad yang diharapkan bisa menguasai suara di Gorontalo akhirnya berbalik mendukung JK-Win. Gamawan Fauzi, yang diharapkan untuk bisa menguasai suara orang Minang, akhirnya memutuskan untuk tidak mengambil cuti pada saat kampanye, karena pernyataan-pernyataan yang keras mengenai posisinya sebagai Gubernur yang dihadapkan pada hak masyarakat Minang yang demokratis untuk memilih pasangan capres dan cawapres yang mereka kehendaki tanpa intervensi dari “pemda” yang merupakan perpanjangan tangan dari kubu SBY. Walaupun beberapa walikota dan wakil walikota Sumbar berbondong-bondong mendukung SBY, orang-orang Minang tidaklah begitu saja mudah terpengaruh. Gerakan tersebut malah menuai ketidaksimpatian terhadap kubu SBY, yang pada gilirannya malah menguatkan dukungan-dukungan masyarakat Minang kepada kedua pasangan capres cawapres yang lain, di mana tokoh-tokoh Minang yang mewakili tim sukes dari kedua kubu lainnya tersebut memainkan peranan penting, dan bukannya hanya menjadi pelengkap penderita saja seperti pada kubu SBY.
Kata “Lanjutkan” sendiri yang menjadi label SBY malah memberikan kecaman yang lebih lanjut lagi. Apa yang hendak dilanjutkan itulah yang menjadi perdebatan. Berhutang kepada lembaga-lembaga supranasional atau istilah kerennya multilateral-kah? Melanjutkan lumpur Lapindo-kah, melanjutkan bencanakah, melanjutkan DOM di Acehkah? Dan lain-lain tafsiran dari kata “Lanjutkan” yang menjadi trade-mark kubu SBY ini.
Pendukung-pendukung SBY adalah orang-orang yang berasal dari kelompok-kelompok tua yang sudah habis masanya seperti Amien Rais dari PAN, Suryadharma Ali dari PP, Goenawan Muhamad, dan Boediono. Kelompok muda yang mendukung SBY tidak jelas keintelektualannya karena tidak jelas pemikiran apa yang telah dihasilkan. Akan tetapi mereka, dengan keangkuhannya, telah meremehkan begitu banyaknya orang-orang intelektual di Indoneisa. Malarangeng bersaudara malah telah menuai kecaman sebagai orang-orang berideologi uang. Rizal Malarangeng yang berambisi menjadi presiden, dengan aksinya dan komentar-komentarnya selama pilpres ini, malah telah mengubur kesempatannya, -yang memang juga tidak berapa banyak. Kubu SBY tampaknya lupa bahwa restu dari pihak asing, tidak cukup untuk “mengakali” sekitar 240 juta rakyat Indonesia serta begitu banyak orang-orang cerdik pandai yang telah dilahirkan oleh Ibu Pertiwi tercinta ini.
Komentar Terbaru