Posts Tagged ‘pilkada

30
Jun
09

Kekalahan SBY di Depan Mata

Serangan-serangan yang tidak santun serta blunder yang dilakukan oleh kubu SBY, disengaja ataupun tidak, bisa dilihat sebagai tanda-tanda akan kalahnya SBY. Tanpa mukjizat dan kecurangan yang diperkirakan akan terjadi dalam pilpres mendatang terkait DPT yang bermasalah, SBY mustahil bisa memenangkan pilpres 2009 ini. Mimpi pilpres satu putaran yang dimotori hanya oleh segelintir lembaga survei, yang pada gilirannya dibiayai oleh Fox Indonesia yang menjadi konsultan SBY, tampaknya hanya tinggal mimpi. SBY sangat mungkin terhempas, bahkan pada putaran pertama. Kalaupun sampai pada putaran kedua, maka sudah bisa dipastikan akan tergusur lewat koalisi besar dari kubu JK-Win dan Mega-Pro.

Koalisi SBY yang tampaknya wah dan besar, adalah koalisi “kosong”. Pemilihan Boediono sebagai cawapres ditengarai sebagai pemicunya. Partai-partai Islam yang merupakan pendukung koalisi SBY yang paling terpenting dan paling setia, tampak sekali tidak dipandang oleh SBY. Reaksi keras yang ditunjukkan oleh Amien Rais dan orang-orang dari partai PKS seperti Tifatul Sembiring selepas pencawapresan Boediono, telah membuat kader-kader dan pendukung-pendukung daripada partai-partai pendukung SBY memikir ulang kembali pilihan mereka yang telah tetap dan pasti sebelumnya kepada SBY.

Pendukung-pendukung dari PKS yang sejak jauh-jauh hari mewacanakan duet SBY dan Hidayat Nur Wahid terpaksa harus menelan pil pahit dan rasa terhina karena hanya dipandang sebelah mata oleh SBY walaupun mereka adalah pendukung setia dari wacana SBY sebagai presiden. Perasaan terhina karena telah “kecolongan” dan hanya dijadikan alat untuk memenangkan SBY, serta “penghianatan” demi “kursi” yang ditengarai dilakukan tokoh-tokoh partai PKS selepas reaksi keras menyusul pencalonan Boediono sebagai capres dari kubu SBY, telah membelah suara kader PKS yang sebelumnya telah bulat untuk mendukung SBY. Pernyataan dari Zulkieflimansyah mengenai jilbab daripada istri-istri pasangan capres dan cawapres JK-Win, malah menyebabkan bertambahnya dukungan kader dan pendukung PKS dari kubu SBY ke kubu JK-Win. Pada forum-forum di dunia maya, pernyataan pendukung-pendukung PKS mengenai penyesalannya akan suara yang mereka berikan kepada pileg lalu kepada PKS, rasa malu akan tindak-tanduk petinggi partai PKS, serta dukungan yang akan mereka pindahkan pada pasangan capres dan cawapres yang lain, menunjukkan bahwa dugaan akan koalisi kubu SBY dengan PKS adalah koalisi kosong bukan isapan jempol saja. Petinggi-petinggi PKS memang tetap berkoalisi dengan kubu SBY, tapi sebagain kader-kader dan pendukung-pendukung fanatik PKS telah “lari ke lain hati

Pernyataan Amien Rais dari kubu PAN yang kecewa lantaran tidak terpilihnya Hatta Rajasa sebagai cawapres SBY, juga merupakan pemicu daripada terbelahnya suara PAN. Amien Rais memang telah mengeluarkan pernyataan membebaskan pendukung-pendukung partai PAN mendukung capres dan cawapres yang lain. Hal ini menjadi penyebab larinya dukungan PAN kepada pasangan capres dan cawapres yang lain. Sejak terpilihnya Boediono, kader-kader partai PAN disebut-sebut bermain “dua kaki” atau “tiga kaki”. Peringatan Amien Rais sendiri terhadap SBY mengenai pasangan JK-Win yang mewakili pasangan nusantara dan kombinasi Islam-Nasionalis dan Sipil-Militer, yang tidak digubris oleh SBY, membuat semakin banyak dukungan dari PAN yang berpindah dari SBY. Ini dinyatakan dengan keterlibatan tokoh-tokoh PAN seperti Alvin Lie dan Drajat Wibowo sebagai pendukung pasangan JK-Win dan dukungan kelompok muda PAN yang  juga diberikan kepada kubu JK-Win.

Dari hari ke hari dukungan kepada SBY terus berkurang, dan dukungan kepada pasangan capres dan cawapres lainnya terutama JK-Win terus bertambah. Banyak pernyataan-pernyataan tidak santun dari tim sukses dari kubu SBY yang mengklaim menjalankan politik “santun” ini, ditengarai sebagai penyebab kebulatan tekad sekelompok masyarakat untuk mengalihkan dukungan mereka kepada pasangan lainnya. Pernyataan Ruhut  Sitompul misalnya mengenai bahwa “orang Arab tidak pernah membantu Indonesia, dan bahwa yang membantu Indonesia adalah Barat“, dianggap sebagai pernyataan rasis yang menyebabkan bulatnya dukungan masyarakat Arab kepada JK-Win yang menjadi kubu di mana Fuad Bawazier, yang menjadi sasaran hinaan Ruhut Sitompul ini, menjadi anggota tim sukses. Pernyataan Ruhut ini, adalah pernyataan tidak berdasar yang hanya menunjukkan minimnya pengetahuan sejarah daripada anggota tim sukses SBY, menunjukkan pemujaan kepada Barat yang berlebihan, serta tidak santunnya gerakan politik SBY. Negara-negara Arab mewakili negara-negara pertama yang mendukung dan mengakui kemerdekaan Indonesia. Negara-negara Arab juga menjadi lambang daripada tempat di mana orang-orang Indonesia, yang merupakan perwakilan kelompok Islam yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat Indonesia yang berjuang untuk kemerdekaan negara Indonesia ini, belajar. Sedangkan Barat adalah representasi dari penjajah di Indonesia, gaya lama maupun gaya baru, lewat serangan bersenjata ataupun lewat utang dan penjajahan ekonomi.

Isu neoliberalisme dan pembahasan mengenai ekonomi kerakyatan yang lebih mewakili sifat ekonomi Indonesia yang menyusul sesudahnya, jelas mempengaruhi turunnya tingkat elektabilitas kubu SBY. Hal ini juga merupakan salah satu sumber terpenting daripada menurunnya dukungan terhadap kubu SBY dari banyak kelompok, terutama pendukung dari partai-partai, kelompok muda dan terpelajar, kelompok LSM dan aktivis HAM,  kelompok-kelompok intelektual lainnya serta para ahli ekonomi yang menolak neoliberalisme di Indonesia.

Label pro-Asing tampaknya tidak dicoba untuk ditutup-tutupi oleh kubu SBY. Kubu SBY misalnya terkesan bangga bahwa deklarasi Sabuga misalnya adalah meniru deklarasi Obama. Padahal, kubu JK-Winlah yang menjadi simbol dari Obama di Indonesia. Lebih lanjut lagi, deklarasi yang diselenggarakan dengan penuh kemewahan tersebut malah menuai kecaman karena tidak menunjukkan kepedulian yang hanya bersifat unjuk kemewahan, ketika banyak orang Indonesia yang mati kelaparan karena kurang makan dan banyak anak-anak Indonesia yang kurang gizi. Pernyataan SBY mengenai Amerika Serikat yang dianggap sebagai negara keduanya dengan segala kekurangannya tidak bisa diterima akal sehat karena menerima segala kekurangan AS berarti menerima pemboman rakyat Irak dan rakyat Afghanistan, penyiksaan di penjara Guantanamo, masalah-masalah rakyat Palestina, pembantaian masyarakat Indian dan diskriminasi masyarakat kulit hitam dan keturunan Amerika latin di AS, gerakan-gerakan politik AS di Amerika Latin yang membawa kesengsaraan puluhan juta manusia di belahan selatan benua Amerika tersebut, serta kepentingan neoliberalisme AS di Indonesia yang menyebabkan Indonesia terjerat utang dan larinya sumber-sumber ekonomi Indonesia ke tangan asing. Padahal isu utang sendiri merupakan salah satu penyebab turunnya dukungan kepada SBY.

Kelompok perempuan adalah kelompok yang kemungkinan paling sedikit memilih kubu SBY. Kubu SBY mengklaim mewakili perempuan atau merupakan partai yang mewakili perempuan. Akan tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Walaupun SBY telah berusaha mendapatkan dukungan dari 4 orang perempuan yang disebut sebagai “srikandi politik” atau “diva-diva politik” seperti Meutia Hatta, Kartini Syahrir, Amelia Yani, dan Rachmawati Soekarno Putri, keempat perempuan ini adalah kelompok elit, yang tidak mewakili suara perempuan Indonesia. Mereka memang anak tokoh atau orang yang mewakili partai, tapi kenyataan bahwa mereka mewakili perempuan Indonesia sangatlah diragukan. Meutia Hatta walaupun anak daripada tokoh Minang Bung Hatta, tetaplah bukan Bung Hatta. Rachmawati Soekarnoputri adalah anak Sukarno, tapi juga bukan Bung Karno. Amelia Yani adalah anak Ahmad Yani akan tetapi bukanlah Ahmad Yani. Kar­tini Sjahrir walaupun sekarang menjadi Ketua Umum Partai Perjuangan Indonesia Baru (Partai PIB), hanyalah mewarisi jabatan tersebut dari suaminya, orang Minang bernama Syahrir atau yang lebih dikenal dengan panggilan Ci’il yang merupakan pendiri partai PIB. Keempat perempuan ini mendukung SBY karena pertimbangan-pertimbangan tertentu seperti pernah menjabat mentri pada pemerintahan SBY-JK, seperti Meutia Hatta atau pertimbangan lainnya. Kepentingan perempuan yang katanya mereka dan kubu SBY wakili, tidak jelas kepentingan apa saja. Padahal kubu SBY mewakili partai-partai pendukung poligami dan pelaku poligami terutama PKS, PPP dan PD. PKS misalnya ditengarai sebagai partai yang mengusahakan UU Anti-Pornografi yang mengebohkan tersebut dibantu partai-partai lainnya termasuk diantaranya PD. UU ini jelas ditujukan terutama untuk mengontrol tubuh perempuan Indonesia dan budaya Indonesia, dan secara bersamaan membebaskan dan mendukung laki-laki untuk berpoligami. Klaim kubu SBY sebagai partai yang “mendukung perempuan” serta pernyataan Meutia Hatta, bahwa SBY peduli terhadap perempuan karena memilih beberapa perempuan sebagai mentri adalah tidak beralasan. Pertama, mentri-mentri perempuan merupakan pilihan SBY dan JK bersama-sama. Meutia Hatta sendiri ditengarai sebagai orang “yang dibawa” oleh JK untuk menjadi mentri. Kedua, dengan jadinya beberapa perempuan menjadi mentri, yang masih tergolong sedikit itu, tidak menjamin membaiknya posisi perempuan ketika yang didukung oleh “diva-diva politik” ini adalah kubu dan partai-partai yang berisi pelaku poligami, peleceh dan pembenci tubuh perempuan serta pendukung neoliberalisme. Keadaan ekonomi, di semua negara, termasuk di negara-negara Barat yang dipuja-puja oleh kubu SBY tersebut, adalah penyebab termiskinkannya perempuan, penyebab terpaksanya perempuan-perempuan bekerja di sektor-sektor yang mewakili apa yang disebut sebagai perbudakan modern, serta sektor yang mewakili ekonomi “tidak resmi” yang melecehkan harga diri perempuan, yaitu pelacuran. Yeni Rosa Damayanti, koordinator SPI (Solidaritas Perempuan Indonesia) yang mengeluarkan daftar caleg berpoligami dan pendukung poligami sebelum pileg lalu dan Dita Indah Sari, wakil buruh yang keduanya pernah dipenjarakan oleh Suharto, lebih layak menyandang gelar diva-diva politik. Mereka juga jelas-jelas menyuarakan kepentingan perempuan Indonesia. Dan suara mereka jelas tidak diwakili oleh kubu SBY yang mewadahi partai-partai doyan poligami seperti PKS, PPP dan PD. Dita Indah Sari sebagai wakil buruh termasuk buruh perempuan, yang merupakan buruh dengan kondisi yang paling buruk di Indonesia, telah menyuarakan dukugannya kepada kubu JK-Win.

Pernyataan kubu SBY mengenai “kapitalis rambut hitam” malah menuai kecaman. Pernyataan ini jelas berasal dari ketidakpahaman kubu SBY dan SBY sendiri tentunya mengenai istilah “kapitalis” serta kerancuan yang didasarkan atas disamakannya istilah “kapitalis” dengan semua istilah-istilah yang mengacu kepada profesi-profesi yang berhubugnan dengan perdagangan, seperti istilah pedagang, saudagar dan pengusaha. Istilah ini juga dianggap merupakan bukti dukungan kubu SBY terhadap “kapitalis-kapitalis rambut pirang” alias “kapitalis Barat“. Istilah ini malah hanya memperburuk kesan pro-Asing yang telah dilabelkan kepada kubu SBY. Karena pernyataan ini pulalah, Ketua APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) Sofyan Wanandi menyatakan dukungannya yang terbuka kepada kubu JK-Win.

Walaupun SBY didukung oleh kalangan seniman dan “intelektual” yang diwakili misalnya oleh Goenawan Muhamad dan Ayu Utami, mereka tidaklah mewakili kelompok intelektual Indonesia yang amat sangat banyak jumlahnya. Mereka mungkin bisa menarik orang-orang di sekitar mereka saja. Tapi kelompok-kelompok cerdik pandai di Indonesia, seperti telah disebut sebelumnya, tidak terhitung banyaknya. Goenawan Muhamad bukan representasi intelektual Indonesia. Ia adalah “intelektual” dari kelompok tertentu dan kelompok tua, yang masanya sudah selesai. Ayu Utami, yang dianggap mewakili kelompok perempuan Indonesia, jelas bukan representasi perempuan Indonesia dan kepentingan perempuan Indonesia. Jika ia dikatakan mewakili sekelompok perempuan Indonesia di perkotaan yang memuja perempuan-perempuan Barat sebagai “teladan”, mungkin ya. Menulis novel tentang seks, datang dari dan besar dalam budaya patriarkal yang melecehkan dan merendahkan perempuan, membaca beberapa literatur dari “feminis-feminis Barat” serta hanya “mengintil” Goenawan Muhamad, tidak menjanjikan apa-apa untuk perempuan Indonesia.

Kelompok-kelompok muda, terpelajar dan kritis jelas tidak akan memilih kubu yang mewakili neoliberalisme, fasisme Islam, kelompok pilkada Jawa Timur dan kelompok-kelompok yang menggelontorkan UU Anti-Pornografi, yang merupakan elemen utama koalisi besar SBY, yaitu partai-partai Islam terutama PKS.

Kelompok-kelompok perkotaan yang tidak menyetujui UU Anti-Pornografi jelas tidak akan memilih kubu SBY, karena di kubu SBY-lah orang-orang ini berada. Jumlah mereka tidak sedikit.  Dukungan kemungkinan akan mereka alihkan kepada kubu Mega-Pro, karena partai GOLKAR yang diwakili JK juga termasuk ke dalam partai yang menyetujui UU Anti-Pornografi ini. Orang-orang ini termasuk kedalam kelompok orang-orang yang peduli dengan budaya masyarakat Indonesia serta dengan kemajemukan yang menjadi ciri dari bangsa Indonesia.

SBY dan kelompok kecilnya telah memperlihatkan sifat kekuasaan yang autokratik. Kelompok ini terdiri dari kekuatan militer -karena posisinya sebagai seorang militer dan presiden yang sedang menjabat, serta posisi keluarganya dan orang dekatnya dalam jabatan-jabatan militer seperti Pangkostrad, Danjen Kopassus dan Pangti-, Malarangeng bersaudara yang lebih dikenal sebagai “si kumis bersaudara” yang sudah mulai tidak disukai masyarakat, Hatta Rajasa yang hanya merupakan pendukung setia dari SBY tanpa basis dukungan PAN yang jelas, Boediono yang telah menuai penolakan bertubi-tubi dari berbagai elemen masyarakat Indonesia, Anas Urbaningrum, Marzuki Alie serta kelompok-kelompok survei bayaran yang dimotori oleh Syaiful Mujani dan Denni JA.  Nama-nama ini telah menuai kecaman dari banyak pihak, karena mereka telah menunjukkan keangkuhan dan klaim-klaim kosong selama jalannya pilpres 2009 ini.

Kubu SBY tampaknya terlalu meremehkan begitu banyaknya kelompok intelektual di Indonesia serta kader-kader dan pendukung-pendukung setia dari partai-partai yang menjadi tulang punggung SBY sendiri, yaitu partai-partai Islam.

Selain dari kader-kader PKS yang masih fanatik untuk mendukung SBY, sudah hampir dipastikan bahwa lebih banyak orang-orang yang mewakili kelompok Islam, entah dari PKS, NU ataupun Muhamadiyah, yang akan mendukung kubu JK-Win. Hal ini terjadi disamping karena kekecewa danengan “ulah” petinggi-petinggi PKS, “ulah” Amien Rais, issu “jilbab loro” di kubu JK-Win, juga karena kedekatan JK dengan kelompok NU, Muhamadiyah dan HMI. Dari kelompok-kelompok agama-agama non Islam dan nasionalis, pada umumnya diperkirakan akan memilih kubu Mega-Pro karena kubu SBY yang pekat dengan rona Islamnya terutama rona PKS yang ditengarai sebagai “tidak hanya tidak ramah terhadap kelompok non-Islam bahkan dengan kelompok-kelompok Islam dari brand-brand tertentu“.

Isu Jawa dan non-Jawa serta isu pasangan pilkada Jawa Timur yang diwakili oleh kubu SBY jelas suatu faktor yang penting. Harapan masyarakat di luar Jawa akan pemerataan pembangunan misalnya, tidak diwakili oleh kubu SBY. Masyarakat-masyarakat di daerah-daerah “bermasalah” yang umumnya terdapat di luar Jawa seperti Aceh, Maluku, Poso dan Papua misalnya, jelas bukan kelompok yang diwakili oleh kubu SBY. Masyarakat dari daerah-daerah ini sudah dapat dipastikan akan lebih condong ke pasangan JK-Win. Daerah-daerah tertinggal di Indonesia yang lagi-lagi berada di luar Jawa, pada umumnya akan memilih pasangan JK-Win terutama di daerah bagian timur yang mewakili pulau-pulau seperti pulau Sulawesi darimana Jk berasal, pulau Kalimantan dan Papua. Pasangan Mega-Pro juga ditengarai bisa mengambil suara di bagian Timur Indonesia ini walaupun tidak akan terlalu signifikan seperti kubu JK-Win. Kelompok-kelompok masyarakat yang mewakili kelompok-kelompok yang merupakan korban kezaliman fasisme Jawa, seperti masyarakat Minang (peristiwa PRRI), Aceh (DOM dan GAM), Ambon, Poso dan Sulawesi (peristiwa Permesta), masyarakat Papua -yang dibiarkan tertinggal dan miskin sementara emas mereka diberikan kepada Freeport-, serta kelompok perempuan Indonesia yang menjadi korban pemerkosaan dan lain-lain perbuatan biadab daripada tentara-tentara yang mewakili fasisme Jawa di daerah-daerah konflik di Indonesia seperti Aceh, Minangkabau, Lampung, Ambon, Sulawesi dan lainnya, jelas bukan kelompok yang akan mendukung SBY yang merupakan bagian dari dinasti politik militer daripada jendral yang membangun ORBA bersama-sama Suharto, yaitu dinasti daripada Jendral Sarwo Edhi Wibowo.

Usaha SBY untuk menguasai suara lewat para Gubernur tampaknya juga menemui jalan buntu. Fadel Muhamad yang diharapkan bisa menguasai suara di Gorontalo akhirnya berbalik mendukung JK-Win. Gamawan Fauzi, yang diharapkan untuk bisa menguasai suara orang Minang, akhirnya memutuskan untuk tidak mengambil cuti pada saat kampanye, karena pernyataan-pernyataan yang keras mengenai posisinya sebagai Gubernur yang dihadapkan pada hak masyarakat Minang yang demokratis untuk memilih pasangan capres dan cawapres yang mereka kehendaki tanpa intervensi dari “pemda” yang merupakan perpanjangan tangan dari kubu SBY. Walaupun beberapa walikota dan wakil walikota Sumbar berbondong-bondong mendukung SBY, orang-orang Minang tidaklah begitu saja mudah terpengaruh. Gerakan tersebut malah menuai ketidaksimpatian terhadap kubu SBY, yang pada gilirannya malah menguatkan dukungan-dukungan masyarakat Minang kepada kedua pasangan capres cawapres yang lain, di mana tokoh-tokoh Minang yang mewakili tim sukes dari kedua kubu lainnya tersebut memainkan peranan penting, dan bukannya hanya menjadi pelengkap penderita saja seperti pada kubu SBY.

Kata “Lanjutkan” sendiri yang menjadi label SBY malah memberikan kecaman yang lebih lanjut lagi. Apa yang hendak dilanjutkan itulah yang menjadi perdebatan. Berhutang kepada lembaga-lembaga supranasional atau istilah kerennya multilateral-kah? Melanjutkan lumpur Lapindo-kah, melanjutkan bencanakah, melanjutkan DOM di Acehkah? Dan lain-lain tafsiran dari kata “Lanjutkan” yang menjadi trade-mark kubu SBY ini.

Pendukung-pendukung SBY adalah orang-orang yang berasal dari kelompok-kelompok tua yang sudah habis masanya seperti Amien Rais dari PAN, Suryadharma Ali dari PP, Goenawan Muhamad, dan Boediono. Kelompok muda yang mendukung SBY tidak jelas keintelektualannya karena tidak jelas pemikiran apa yang telah dihasilkan. Akan tetapi mereka, dengan keangkuhannya, telah meremehkan begitu banyaknya orang-orang intelektual di Indoneisa. Malarangeng bersaudara malah telah menuai kecaman sebagai orang-orang berideologi uang. Rizal Malarangeng yang berambisi menjadi presiden, dengan aksinya dan komentar-komentarnya  selama pilpres ini, malah telah mengubur  kesempatannya, -yang memang juga tidak berapa banyak. Kubu SBY tampaknya lupa bahwa restu dari pihak asing, tidak cukup untuk “mengakali” sekitar 240 juta rakyat Indonesia serta begitu banyak orang-orang cerdik pandai yang telah dilahirkan oleh Ibu Pertiwi tercinta ini.

18
Mei
09

DIBALIK KEMENANGAN PARTAI DEMOKRAT PADA PEMILU LEGISLATIF 2009

Oleh: Restianrick Bachsjirun Chaniago, Sekjen Partai Kedaulatan

Berliku, berebut dan penuh intrik. Itulah jalan panjang menuju Istana Presiden. Tahta kekuasaan yang diimpikan banyak orang. Dari warga biasa, kaum terpelajar, pengusaha, tokoh parpol hingga presiden atau wakil presiden yang masih berkuasa. Yang belum merasakan ingin menikmati, yang sudah ingin mengulangi. Tapi adakah yang sadar, bahwa tinggal di dalamnya, duduk di atas singgasananya merupakan amanah rakyat. Sesuatu yang selama ini hanya dijadikan klaim atas nama.

Ada hal lain dari pelaksanaan Pemilu 2009. Bukan karena kekacauan penyelenggaraan Pemilu Legislatif, 9 April lalu dan buruknya kinerja KPU. Bukan pula karena kemenangan Partai Demokrat yang terlihat fantastis dan mengejutkan, dan melorotnya perolehan suara parpol-parpol lain.

Juga bukan karena tingginya angka Golput yang lebih dari 40 persen. Atau karena keluhan banyak warga pemilih yang tidak mendapatkan hak pilihnya. Bukan ini, bukan itu.

Satu hal yang membedakan adalah semua rangkaian fakta tersebut terjadi di tengah hingar bingar konflik di tubuh banyak parpol. Sebelum dan sesudah Pemilu Legislatif, hingar bingar konflik antar parpol maupun antar parpol maupun internal parpol juga tak surut.

Sebelum Pemilu, sejumlah parpol terbelah. PKB berhasil menyingkirkan the founding fathernya Abdurrahman Wahid. Ada Partai Matahari Bangsa yang membayangi PAN. Setelah Pileg, kekisruhan parpol merebak dipicu perbedaan kepentingan koalisi. Golkar, PAN dan PPP mengalami kisruh ini.

Menariknya lagi, di tengah kekisruhan parpol tersebut, ada yang merayakan kemenangan membanggakan: Partai Demokrat. Partai yang mengusung capres incumbent Susilo Bambang Yudhoyono ini meraih prestasi luar biasa, dengan perolehan suara lebih 20 persen.

Kendati menang hebat, reaksi yang timbul di lingkungan Demokrat tidak sehebat prestasinya. Ditanggapi biasa-biasa saja.

Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, SBY menyatakan kemenangan itu bukan sesuatu yang mengherankan. Menurut SBY, rahasia sukses Demokrat karena persiapan matang yang telah lama dilakukan. Sejak 2001 cikal bakal Demokrat sudah menggalang aksi yang disebut “Quite Revolution” atau Revolusi Senyap.

Dijelaskan, istilah ini mengacu pada kerja tim intelijen atau tim yang menggunakan cara-cara intelijen dalam menyukseskan Demokrat. Tim ini pula yang sukses mengantarkan SBY ke kursi RI-1 pada Pilpres 2004.

Tim sukses kali ini melibatkan tak kurang dari sembilan tim. Sebagian besar tim melibatkan purnawirawan jenderal dari TNI dan Polri, seangkatan dengan SBY. Tim ini mengadopsi sistem intelijen militer.

“Diam-diam Partai Demokrat melakukan Quite Revolution”, kata SBY pada satu kesempatan.

Gerakan ini melalui persiapan matang, mulai dari penguatan infrastruktur, peningkatan kemampuan kader hingga pembekalan. Tidak pernah ada “jalan lunak” untuk mencapai kemuliaan, kata SBY.

Kemenangan fenomenal Partai Demokrat dalam Pemilu Legislatif 2009 membuat pendukung SBY semakin percaya diri. Kemenangan itu diyakini akan memuluskan langkah SBY duduk di kursi Presiden RI untuk kali kedua.

Strategi terbuka ataupun operasi intelijen bakal mengharubiru perebutan kekuasaan di Indonesia. Perang intelijen pun siap memakan korban. Kemenangan Partai Demokrat tidak lepas dari peran tim siluman non organik. SBY sendiri sempat menyatakan agar tim struktural Partai Demokrat tidak memusuhi tim siluman SBY. Untuk itu tim struktural tidak pernah menyatakan bahwa kesuksesan Partai Demokrat hasil kerja tim struktural.

Kabarnya, tim sukses SBY juga memiliki tim intelijen yang ditugaskan untuk memecah belah partai politik atau pihak lawan. Tim ini disusupkan dalam kepengurusan partai politik lain.

Bahkan SBY sempat mengungkapkan, kemenangan Partai Demokrat dalam Pemilu 2009 tidak lepas dari cara kerja tim “Cikeas” yang mengadopsi sistem intelijen militer.

Tim sukses Partai Demokrat dan tim sukses SBY terdiri dari sembilan tim, yang sebagian besar menyertakan purnawiran TNI/Polri. Semua tim khusus ini dikomandani Mantan Wakil Asisten Sosial Politik Kepala Staf Sospol ABRI Mayjen (Purn) Yahya Sacawiria. Setelah terbentuknya poros Cikeas, formasi tim sukses SBY bertambah seperti :

JEJARING MILITAN PENDUKUNG SBY

TIM DELTA

Mayjen (Purn) Abikusno

Mengurusi semua perlengkapan kampanye Partai Demokrat

TIM ECHODjoko SuyantoMenggelar operasi intelijen di daerah untuk mendongkrak perolehan suara Partai Demokrat dan SBY

Mengadopsi fungsi teritorial militer.

TIM FOXTROT (BRAVO MEDIA CENTER)Choel Mallarangeng (Adik Andi Mallarangeng)Lembaga konsultan politik Partai Demokrat

TIM ROMEO

Mayjen (Purn) Sardan MarbunSosialisasi kebijakan SBY yang dianggap berhasil.

TIM SEKOCI

Soeprapto, Irvan EdisonMendata tokoh masyarakat, pengusaha, tokoh agama, tokoh perempuan, petani dan nelayan.

JARINGAN NUSANTARAAndi Arief, Harry Sebayang, Aam Sapulete

Propaganda dan penggalangan lapangan

Didukung jaringan yang loyal dan militan di seluruh daerah.

BARISAN INDONESIA (BARINDO)

Akbar TandjungMengembangkan jaringan pendukung SBY di masyarakat

YAYASAN DZIKIR SBY NURUSSALAM

Kurdi Mustofa, Sudi Silalahi, Habib Abdul Rahman M Al-Habsyi, Edy Baskoro

Menggelar tablig akbar di sejumlah daerah. Berhasil merangkul komunitas berbasis ideologi keagamaan. Didukung kekuatan lintas partai dan lintas disiplin ilmu.

GERAKAN PRO SBY (GPS) Suratto Siswodihardjo, Jenderal Pol (Purn) Soetanto, Marsekal TNI (Purn) Herman Prayitno, Siti Fadilah Supari, MS Kaban, Letjen (Purn) Suyono, Letjen (Purn) Agus Wijoyo, Lili Wahid Pembentukan opini publik terkait peningkatan citra SBY

Dalam pelaksanaannya, tim sukses “Cikeas” terbagi menjadi dua kelompok, tim resmi dan tim bayangan. Disebut-sebut, mantan Panglima TNI Marsekal (Purn) Djoko Suyanto memimpin “tim siluman” tersebut.

Konon, untuk memudahkan koordinasi, Djoko Suyanto sengaja pindah rumah di Puri Cikeas Indah, berdekatan dengan rumah pribadi SBY. Djoko memimpin tim siluman atau “Tim Echo” yang mengadopsi gerakan intelijen hingga ke daerah-daerah.

Tim Echo menerapkan strategi komando teritorial di dunia militer untuk mendongkrak popularitas SBY dan Partai Demokrat. Sebagai layaknya institusi militer, hanya ada satu pemimpin di tingkat kabupaten/kota yang berperan sebagai penggerak lapangan.

Fungsi intelijen juga dijalankan tim sukses lainnya, yakni Tim Sekoci. Tim yang diketuai Komisaris Utama PT Indosat, Soeprapto ini bertugas mengumpulkan data tokoh masyarakat, pengusaha, tokoh agama, tokoh perempuan, petani dan nelayan.

Mantan aktivis mahasiswa juga dilibatkan dalam gerakan intelijen “Cikeas”. Para aktivis itu membentuk kelompok Jaringan Nusantara (JN). Pengamat dan analis intelijen tercatat bergabung dalam JN.

JN dipimpin oleh Aam Sapulete, Andi Arief dan Harry Sebayang. Mantan aktivis itu saat ini menjabat sebagai komisaris di perusahaan BUMN. Aam Sapulete menduduki kursi komisaris PTP Lampung, Herry Sebayang komisaris PTP Sumut, dan Andi Arief komisaris PT Pos. Para aktivis asal Yogyakarta itu dekat dengan SBY ketika masih berdinas di Yogyakarta.

Uniknya, meskipun dikoordinir para komisaris BUMN, lembaga taktis pendukung SBY ini menghimpun dana operasi gerakan dari dana saweran anggota jaringan.

Jaringan Nusantara dikenal militan dalam mendukung SBY. Bahkan JN sempat menuduh sejumlah menteri di Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) sengaja mengembosi SBY dengan menunjukkan kinerja yang buruk.

Bahkan ketua JN Aam Sapulete meminta Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) untuk memeriksa pejabat yang mangkir atau lamban dalam melaksanakan perintah Presiden SBY.

Ironisnya, usulan JN secara tidak langsung direspon Kepala BIN Syamsir Siregar. Terkait penangkapan Sekjen Komite bangkit Indonesia (KBI), Ferry Juliantono, Syamsir menyebut para menteri parpol “sontoloyo”. Sejumlah menteri memang tercatat mendukung hak angket kenaikan BBM, Mei 2008.

Nama Harry Sebayang, sempat disebut-sebut dalam aksi “pembelotan” anggota Forum Silahturahmi Keraton Se-Nusantara yang diundang dalam “Pisowanan Agung”, Oktober 2008, mendukung Sri Sultan HB X menjadi presiden.

Belakangan para raja dan sultan Nusantara itu diundang SBY ke Istana Merdeka dengan tanpa dihadiri Sri Sultan HB X ataupun perwakilan Kraton Yogyakarta. Jelas, peristiwa itu kental dengan nuansa politis persaingan SBY – Sri Sultan HB X.

Tim sukses Sri Sultan HB X, Sukardi Rinarkit mensinyalir adanya operasi intelijen untuk mengganjal Pisowanan Agung. Memang, para raja dan utusan kerajaan Nusantara intens bertemua dengan Harry Sebayang di Yogyakarta.

Selain melonjaknya perolehan suara Partai Demokrat yang diperkirakan mencapai 300 persen, fenomena lain yang menarik dari hasil pelaksanaan pemungutan suara 9 April lalu, adalah munculnya sejumlah permasalahan terkait Daftar Pemilih Tetap (DPT).

Sejumlah permasalahan itu, diantaranya: banyaknya warga yang tidak terdaftar dalam DPT Pemilu 2009, meskipun mereka terdaftar sebagai pemilih pada pemilu sebelumnya atau pilkada; banyaknya warga yang sebelumnya masuk Daftar Pemilih Sementara (DPS) kemudian tidak masuk DPT; serta banyaknya warga yang terdaftar dalam DPT tetapi tidak menerima undangan pencotrengan.

Selain itu, banyak pula warga di daerah tertentu yang menjadi basis partai tertentu tidak terdaftar sebagai pemilih; juga banyak kader-kader parpol tertentu yang tidak terdaftar sebagai pemilih; atau warga yang tercatat sebagai pemilih ganda.

Menariknya, permasalahan-permasalahan terkait DPT tersebut, terjadi secara luas dan merata hampir diseluruh wilayah di Indonesia, mulai dari Aceh sampai Papua. Bahkan di Jakarta, yang tidak ada kendala informasi dan komunikasi juga mengalami permasalahan yang sama.

Pada awalnya, permasalahan terkait DPT ini diduga karena manajemen KPU yang buruk. Namun dengan melihat luas dan meratanya terjadinya permasalahan, beberapa pihak menduga ada kekuatan politik yang bermain.

Beberapa pernyataan petinggi PDI-P, bahkan jauh-jauh hari mengingatkan KPU tentang ketidakakuratan DPT yang dibuat. Di Jawa Timur, pengurus daerah parpol ini menemukan banyak kejanggalan dalam DPT yang dibuat KPU tersebut, yang berpotensi mengurangi suara PDI-P.

Dua pucuk figur Partai Gerindra dan Partai Hanura, juga secara tegas mempertanyakan permasalahan DPT yang amburadul tersebut. Dua pucuk figur parpol yang selama ini kurang bertegur sapa ini, sepakat membentuk sekretariat bersama dan menggandeng parpol-parpol lain untuk mencari bukti “kealpaan” KPU terkait permasalahan DPT.

Kedua parpol ini menduga, kealpaan KPU terkait DPT, adalah tidak semata-mata akibat buruknya manajemen pendataan KPU. Kemungkinan ada kekuatan politik yang ikut bermain dan memanfaatkan data pemilih.

Memang, dari sisi sistem pendataan pemilih, ada perbedaan antara Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Pada Pemilu 2004 pendataan pemilih dilakukan oleh KPU sendiri yang dibantu oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Selain itu, KPU juga didukung dengan perangkat lunak (software) yang lebih baik sehingga mampu meminimalkan pemilih yang tidak tercatat dalam DPT.

Pada Pemilu 2009, sesuai dengan ketentuan undang-undang, KPU hanya menerima data penduduk potensial dari Departemen dalam Negeri, yang memang bermasalah. Sayangnya, KPU tidak mampu memutakhirkan data itu karena tidak didukung sumber daya yang memadai, kecanggihan perangkat lunak serta terlambatnya pencairan dana dari Departemen Keuangan.

Kalaupun permasalahan perbedaan sistem pendataan itu menjadi alasan ketidakmampuan KPU dalam membuat data pemilih yang akurat, pertanyaannya, mengapa kekurangan kondisi ini juga berlangsung disemua KPU daerah, khususnya dalam menentukan DPT? Mengapa tidak ada KPU daerah yang bisa, misalnya, mengambil alih tugas verifikasi data pemilih didaerahnya sehingga tidak amburadul?

Meski Demokrat melaju sendirian tanpa saingan, toh suara yang diperoleh kendaraan Politik Capres SBY ini masih berada jauh di bawah perolehan golput. Diperkirakan suara golput meledak hingga berada di atas 40 persen, atau yang tertinggi dalam sejarah Pemilu di Indonesia.

Kemenangan Demokrat ini menyisakan misteri. Pasalnya, terdapat fakta bahwa jumlah DPT jauh lebih besar dari yang diperkirakan. DPT pada Pemilu Legislatif 2009 berjumlah 171.265.442. Sedangkan DPT pada 2004 mencapai 148.000.041, atau memiliki selisih 23.265.401. Jumlah DPT itu diperoleh dari 527.344 TPS ditambah 873 TPS yang tersebar di luar negeri, sehingga total TPS mencapai 528.217.

Jika pada satu TPS secara konservatif terdapat 20 orang yang terdaftar dalam DPT 2004, namun tidak terdaftar pada DPT 2009, maka jumlahnya 528.217 x 20 orang. Hasilnya 10.564.340 orang.

Timbul pertanyaan mengenai penambahan 23.265.401 orang pada DPT 2009. Padahal, masih ada sekitar 10.564.340 orang? Jadi total DPT misteri itu ada 33.829.741 orang.

Bila dilihat dari selisih kemenangan antara Parpol peringkat 1 dengan peringkat 2 dan 3 sekitar 7 persen, dikali 171.265.442, hasilnya hanya mencapai 8.392.006 suara. Hal ini bertambah misterius saat mengetahui jumlah golput sekitar 40 persen. Golput tersebut bisa diartikan tidak datang atau suara tidak sah.

Ironisnya, di luar masalah DPT, banyak kecurangan yang tidak bisa digunakan sebagai dasar untuk membatalkan hasil pemilu. Dasar gugatan sengketa pemilu dibatasi hanya untuk selisih hasil penghitungan suara.

Padahal, intimidasi, money politics, kecurangan dalam pencalonan, penyimpangan birokrasi, dan penyimpangan DPT, akan mempengaruhi hasil pemilu. Tak heran kemudian ada anggapan penggelembungan DPT ini melibatkan intelijen, jajaran pemerintah, KPU dan petinggi partai tertentu. Tetapi yakinlah bau bangkai lama-kelamaan akan tercium juga. (Restianrick Bachsjirun dari berbagai sumber)




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Blog Stats

  • 238.873 hits