Posts Tagged ‘partai politik

02
Jan
11

Boediono: Bencana Alam Warisan Nenek Moyang, Harus Diterima dengan Tegar

Detik NewsWakil Presiden Boediono berkomentar soal bencana alam yang datang silih berganti. Menurutnya, hal tersebut warisan nenek moyang yang harus diterima dengan tegar.

“Ada yang mempertanyakan soal bencana alam yang bertubi-tubi. Bencana alam ini adalah warisan nenek moyang yang harus kita terima dengan tegar,” ujar Boediono.

Pernyataan itu disampaikan Boediono saat meninjau lokasi pengungsian korban letusan Gunung Merapi di Desa Keputran, Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Kamis (28/10/2010).

Menurut Boediono, kondisi tersebut mengharuskan bangsa Indonesia harus saling menunjang dan percaya. Sebab hanya dengan cara itu bangsa Indonesia akan maju.

“Kita harus saling menunjang dan percaya jika ingin maju. Bukan justru merongrong dengan tidak percaya pada pemerintah,” ungkap Boediono.

Dalam kunjungan tersebut, Boediono didampingi istri dan sejumlah menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II. Menteri-menteri itu adalah Menteri Pendidikan Nasional M Nuh, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menpora Andi Malarangeng dan Menteri Pemberdayaan Wanita Linda Gumelar.

Rombongan Wapres juga memberikan bantuan Rp 1,5 miliar dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Rp 500 juta dari Kementerian Sosial dan sejumlah obat-obatan dari Kementerian Kesehatan.

Kunjungan Boediono itu hanya berlangsung sekitar 35 menit. Mantan Gubernur BI itu selanjutnya menuju Solo untuk menghadiri acara Peringatan Sumpah Pemuda.

***

Komentar dari Boediono, bukanlah komentar yang aneh dari seorang memiliki pandangan hidup Hindu Jawa, yaitu seorang bermental jongos (jongos konsep Jawa), yaitu jongos atau pelayan bagi kekuasaan para patriarch yang utamanya adalah para patriarch asing, yaitu bapak-bapak penguasa ekonomi dan keuangan dunia. Berikut ini bisa dibaca tulisan-tulisan atau pendapat dari orang-orang Minang seperti Vara Jambak, Iwan Piliang, Revrisond Baswir, Rizal Ramli, Kusfiardi rang Jambak serta tulisan dari sumber-seumber lain mengenai Boediono. Dari tulisan-tulisan ini bisa disimak kiprah Boediono dalam melayani para patriarch ekonomi dan keuangan dunia, kiprahnya dalam penghancuran ekonomi Indonesia serta hubungannya dengan SBY.

Bahwa bencana alam adalah “warisan nenek moyang” mencerminkan ketidaklayakan Boediono memegang gelar “profesor“.

***
Tulisan dari Detik News di atas, sengaja ditampilkan di blog ini sebagai catatan penting mengenai musibah gempa, tsunami, letusan gunung berapi yang akhir-akhir ini terjadi di Indonesia, maupun mengenai kinerja daripada anggota DPR, pemerintah dan tokoh-tokoh politik lainnya yang layak menjadi pertimbangan dalam memilih anggota DPR, maupun partai politik serta presiden pada pemilu 2014 yang akan datang.

Berita-berita mengenai musibah ini akan diselingi dengan tulisan-tulisan dan postingan lainnya mengenai KKM (Kongres Kebudayaan Minangkabau) 2010 yang telah dilaksanakan dengan nama lain yaitu SKM GM (Seminar Kebudayaan Minangkabau Gebu Minang) oleh para patriarch Minangkabau seperti Saafroeddin Bahar dan Mochtar Naim.

19
Jun
09

Indra J Piliang: Darurat Perdamaian untuk Aceh!

KEPUTUSAN sidang kabinet untuk menerapkan darurat militer tahap kedua, 19/11/2003- 19/5/2004, menunjukkan dominasi eksekutif dalam menjalankan kebijakan. Keputusan itu termasuk menjalankan lima jenis operasi terpadu atas Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yakni operasi pemulihan keamanan, kemanusiaan, penegakan hukum, pemantapan pemerintahan daerah, dan operasi pemulihan ekonomi. Padahal, tanpa darurat militer pun kelima operasi itu masih bisa dilakukan.

Darurat militer tahap kedua ini akan diikuti evaluasi pelaksanaan darurat militer tahap pertama (19 Mei – 19 November 2003) serta pembentukan tim Pemantau Terpadu untuk mencegah penyimpangan penggunaan dana operasi terpadu.

Sebagai warga negara yang baik, selayaknya tiap kebijakan pemerintah mendapat dukungan warganya. Namun, atas nama demokrasi yang kini menjadi saka guru kehidupan kebangsaan, apa pun kebijakan yang diambil pemerintah tetap memerlukan pendapat warga negara. Hanya warga negara yang apatis, apolitis, dan nihilis yang terus berdiam diri menghadapi apa pun kebijakan pemerintah.

Pendapat DPR saja tidak cukup, mengingat sistem presidensial kita berkaki pada partai politik di parlemen. Partai mayoritas di DPR juga partainya presiden dan wakil presiden, serta sejumlah menteri di kabinet.

Untuk itu, tak ada salahnya perdebatan publik terus dijalankan demi pencapaian tujuan terbaik berbangsa dan bernegara. Mengingat warga negara adalah elemen terpenting dalam sebuah negara, sikap menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada pemerintah dan parlemen atas nasib warga negara Republik Indonesia merupakan indikator kegagalan demokrasi. Hilangnya kesadaran untuk memperdebatkan segala sesuatu yang menyangkut kepentingan negara secara keseluruhan merupakan awal dari menipiskan sense of belonging atas negara.

Sebagai bagian sah dari RI, amat tidak adil bila persoalan Aceh hanya bagian persoalan pemerintah dan “rakyat Aceh” yang disebutkan meminta perpanjangan darurat militer. Apalagi sampai sejauh ini, tidak ada parameter dan metodologi yang sahih untuk menunjukkan berapa persen dari “rakyat Aceh” yang menghendaki darurat militer, juga berapa persen yang menghendaki perdamaian tanpa darurat militer.

Kerikil di sepatu Indonesia

Dari latar belakang itulah, penulis khawatir adanya tekanan berbagai pihak untuk tidak mengeluarkan pikiran terbaiknya bagi penyelesaian persoalan Aceh. Tekanan itu hanya akan membawa konsekuensi negatif bagi perkembangan demokrasi, sekaligus pendewasaan politik seluruh elemen bangsa dan negara, tidak terkecuali pemerintah dan parlemen.

Patut diingat, darurat militer hanya berlaku untuk Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), sedangkan di luar NAD yang berlaku adalah tertib sipil. Sebagai bagian pembayar pajak dan pemilik suara dalam pemilu, warga negara berhak mengeluarkan pendapat apa pun.

Revolusi Amerika, misalnya, lahir dari adagium “Tidak ada pajak tanpa perwakilan”. Begitu juga revolusi Indonesia lahir dari sebuah kesadaran betapa kolonialisme dan imperialisme bertentangan dengan hak asasi manusia.

Perlunya soal mendasar ini diangkat untuk mengingatkan semua pihak, betapa mahalnya harga kemerdekaan. Kemerdekaan ini tidak hanya berwujud hengkangnya para penjajah dari bumi republik, melainkan jauh lebih penting lagi adalah agar metode kaum penjajah itu tidak diteruskan oleh rezim mana pun untuk menindas kebebasan warga negara.

Pemaksaan kehendak, intimidasi, pembuangan, perampasan, sampai indoktrinasi merupakan hal tabu yang mestinya dihindari rezim mana pun. Bagaimanapun, Aceh kini menjadi semacam kerikil di sepatu RI. Butuh kehati-hatian untuk mengeluarkannya agar jangan sampai kaki menjadi lecet.

Dalam kerangka itulah, penerapan darurat militer tahap pertama jauh dari harapan. Selama penerapan darurat militer, misalnya, jumlah kematian di Aceh mencapai 10 orang per hari atau secara akumulatif 1.500 orang selama lima bulan. Sebanyak 1.500 kematian, baik yang direncanakan ataupun tidak, dengan tiap butir peluru dari anggaran negara untuk TNI dan “pajak nanggroe” untuk Gerakan Aceh Merdeka?

Adakah yang lebih tragis dari itu? Mau dibawa ke mana peradaban bangsa yang dikenal welas asih ini? Mengingat Aceh merupakan bagian sah RI, maka 1.500 kematian itu adalah warga negara Indonesia. Hanya, mereka terbagi ke dalam warga negara Indonesia yang ingin memisahkan diri, lalu mengangkat senjata demi tujuan itu. Sebagian lain adalah putra-putra bangsa yang berprofesi sebagai tentara dan polisi. Adapun sebagian besar, lebih dari 90 persen rakyat Aceh, adalah warga negara sipil biasa yang kebetulan ada di tengah medan konflik dan terkena imbas perseteruan dua pihak yang bertikai.

Kerugian lain sungguh tak terhitung. Seluruh upaya pemerintah selama 28 tahun terakhir ini tercurah untuk Aceh. Begitu juga alokasi anggaran dalam jumlah besar yang digunakan untuk prajurit di lapangan, pembangunan tempat pengungsian, sampai sekolah darurat. Yang paling menjadi korban tentu anak-anak Aceh yang juga anak-anak Indonesia. Ketika sebagian besar anak-anak di negara maju menghabiskan waktunya bermain dengan penuh ceria dan gizi cukup, anak-anak Aceh mengalami kehidupan yang mirip dialami anak-anak Indonesia di masa revolusi dulu.

Personel nontempur

Tugas kita memikirkan titian masa anak-anak Aceh. Pemerintah, terutama, perlu menyiapkan aneka metode rehabilitasi pascadarurat militer. Sejauh ini, metode itu belum dipikirkan. Padahal, anak-anak korban konflik memerlukan upaya dan kerja keras berlipat-lipat guna melupakan konflik. Anak-anak pelaku tindak kriminal, atau korban eksploitasi orangtua di jalan-jalan Jakarta saja membutuhkan terapi khusus, apalagi anak korban konflik. Kebiasaan mendengar suara senapan, membuat tembak-menembak menjadi rutinitas yang berbahaya.

Anak-anak selalu menjadi korban dalam setiap konflik bersenjata, sejak konflik itu diciptakan orang dewasa. Dari konflik keluarga, sampai perang. Agar darurat militer menemukan tujuannya, yakni memulihkan situasi keamanan, kemanusiaan, hukum, pemerintahan dan ekonomi, diperlukan lebih dari sekadar pengerahan tentara dan polisi. Untuk itu, sangat kontraproduktif apabila pemerintah mempertahankan jumlah pasukan di Aceh, apalagi menambahnya. Kalaupun jumlahnya dipertahankan, selayaknya jenis pasukan itu diganti setahap demi setahap dengan petugas yang lebih profesional dalam hal penataan masa depan Aceh.

Perimbangan kekuatan personel, terutama nonmiliter dan nontempur, amat diperlukan untuk menuntun ke arah sipilisasi penanganan persoalan Aceh. Bagaimanapun, dengan kian tertatanya profesionalisme militer, diperlukan penegasan bahwa militer hanya bertanggung jawab terhadap persoalan pertahanan dan membantu bidang keamanan.

Hingga kini, belum ada rencana atau upaya untuk mendidik orang yang mempunyai kemampuan nontempur untuk diterjunkan di Aceh. Padahal, menormalkan kehidupan di Aceh jauh lebih baik dengan mengerahkan petugas yang bisa mengajarkan anak-anak menggambar, guru mengaji yang pandai dan paham tentang perdamaian, tenaga medis yang punya kepedulian tinggi atas penderitaan korban konflik, ahli-ahli hukum Islam dan syariah Islam, mengingat Aceh menerapkan Syariat Islam, sampai politisi yang tidak hanya pandai beretorika, melainkan yang mampu berkorban.

Jadi, dari lima jenis operasi terpadu yang diterapkan di NAD, selayaknya proporsi petugas yang dikerahkan berimbang. Misalnya, 20 persen untuk pemulihan keamanan, 80 persen untuk empat operasi lain. Menjadi tidak logis bila jumlah pasukan jauh lebih banyak dari jumlah pelaksana empat jenis operasi nonmiliter lainnya itu.

Untuk membangun titian perdamaian, jauh lebih dibutuhkan para pembangun titian itu, ketimbang penjaganya, apalagi penghancurnya. Kalau tidak, titian demi titian mungkin roboh satu demi satu apabila sedikit sekali tenaga manusia yang dikerahkan mempertahankannya. Selayaknya pemerintah bersama parlemen mengeluarkan berbagai terobosan penting agar titian perdamaian tidak roboh. Sungguh, merebut hati rakyat Aceh jauh lebih berarti ketimbang hanya menyingkirkan elemen-elemen yang tidak punya keyakinan untuk tetap bergabung dengan republik ini.

Atas dasar itulah, pelaksanaan darurat militer jilid kedua ini amat disayangkan, bahkan patut ditolak. Yang dibutuhkan adalah darurat perdamaian, bukan darurat militer, demi tegaknya sebuah bangsa yang berdiri di atas nilai-nilai keadaban, bukan kebiadaban.

Catatan:

Tulisan ini adalah merupakan tulisan dari saudara Indra J Piliang yang waktu itu masih bekerja sebagai peneliti pada Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta. Berikut ini adalah keterangan dari saudara Indra mengenai tulisannya ini: “Pada waktu artikel ini ditulis, SBY adalah Menkopolkam. Dan saya ingat, Rizal Mallarangeng dalam artikel di Kompas malah “melegitimasi” pengerahan pasukan ke Aceh. Denny JA, melalui LSI, usai tsunami merilis angka survei menakjubkan bahwa “lebih dari 70% warga Aceh siap berperang melawan GAM.”




Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Blog Stats

  • 238.873 hits