Posts Tagged ‘bungo pasia jo bungo kayu

28
Jul
10

Muhammad Ibrahim Ilyas rang Chaniago: Alam Takambang Jadi Ngilu, 2

Begitu panjang deretan pertemuan dengan berbagai tingkatan: kongres, seminar, lokakarya, dan sarasehan mengenai Minangkabau. Paling tidak sudah tercatat sejak 1910. Ada berapa banyak hasil dan rekomendasinya yang bisa dimplementasikan dan diterima sebagai sesuatu yang harus dilaksanakan “untuk dan demi kebudayaan Minangkabau?” Ada berapa banyak yang hanya berakhir pada ujung pertemuan itu saja? Hasil-hasil pertemuan itu bahkan tak terdokumentasi dengan baik, tinggal tertumpuk sebagai bagian dari laporan pertanggung-jawaban keuangan (karena sudah memakai uang APBN atau APBD), terletak berdebu di laci organisasi penyelenggaranya dan kemudian dilupakan, jadi bahan skripsi yang kemudian juga tak terbaca setelah wisuda, dan ada sedikit sekali yang berhasil dicetak jadi buku (buku yang dicetak dengan jumlah terbatas pula).

Masih adanya keinginan untuk melaksanakan agenda sejenis bisa menyiratkan beberapa hal. Pertama, kesadaran bahwa memang ada hal-hal yang perlu dituntaskan “untuk dan demi kebudayaan Minangkabau”, artinya belum ada pembicaraan menyeluruh mengenai hal itu pada pertemuan sebelumnya. Dengan alasan ini, mestinya ada pertemuan pendahuluan untuk menyepakati hal-hal yang perlu dituntaskan itu. Kedua, sangat kompleksnya masalah yang dihadapi kebudayaan Minangkabau, terutama menyangkut eksistensi dan masa depannya, yang membuat (sebagian) orang Minang merasa perlu membuat rumusan-rumusan (semacam undang-undang tertulis) standar yang akan dipakai oleh etnik Minangkabau di masa depan. Persoalannya di sini adalah bagaimana sebagian orang Minang tersebut membagi persoalan ini dengan orang Minang yang lain. Ketiga, ini hanya keinginan sedikit orang Minang (asumsi sebagian orang Minang lain) yang memposisikan diri sebagai orang atau lembaga (satu-satunya) yang bertanggung jawab terhadap kebudayaan Minang.

Sesungguhnya, memang banyak hal yang harus kita persamakan. Sebelumnya, tentu harus menyamakan persepsi dulu. Banyak masalah yang menjadi pertanyaan harian yang ada dalam diri setiap orang Minang (atau yang merasa jadi orang Minang atau yang ingin menjadi orang Minang). Ada lagi hal-hal di luar itu. Kita sebut saja misalnya globalisasi, Minangkabau atau Sumatera Barat, Minangkabau atau Pagaruyung, adat salingka nagari, Gebu Minang, ranah jo rantau*, dikambang saleba alam dilipek sagadang kuku, LKAAM, alam takambang jadi guru, bandara Minangkabau, perda nagari, baliak ka nagari, baliak ka surau, RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), RPJP (Rencana Induk Pembangunan Jangka Panjang), lebih 300.000 ha tanah ulayat yang akan jadi tanah negara (informasi dari beberapa sumber), koperasi suku atau pemekaran nagari.

Bagaimana masa depan kebudayaan Minangkabau?
Inilah pokok masalah yang harus dipikirkan oleh orang Minang. Berhentilah bernostalgia, lepaskan diri dari romantisme masa lalu. Toh kita semua tau bahwa yang bersifat material dalam kebudayaan Minangkabau telah bergeser banyak atau sudah tidak ada sama sekali. Tanah ulayat, tapian mandi, balairung, bungo pasia jo bungo kayu**, surau, sasaran, galanggang, datuk, ninik mamak, adat bakobaki, perkawinan (sudah lazim resepsi di gedung dan menyewa pasambahan), kerapatan panghulu, dan seterusnya; apakah kita masih mempunyainya atau masih berfungsikah menurut kebanggaan kita? Saya membayangkan, suatu kali nanti, ketika saya tanya cucu saya, apakah Minangkabau itu? Dengan santai cucu saya langsung menjawab: nama bandara dekat Padang, ibukota Sumatera Barat. Nah.

Kebanyakan pertemuan kita selama ini hanya bicara tentang bagaimana Minangkabau di masa lalu, bagaimana kebanggaan-kebanggaan semu kita terhadap itu semua, dan nyaris tak bicara bagaimana nilai dan kebanggaan itu bisa tetap kita pakai di masa depan.

Globalisasi
Globalisasi mencemaskan banyak orang, yang tidak kuat akan terlindas dan larut hilang. Globalisasi menjadi gelombang tsunami menakutkan yang siap menyapu semua. Tidakkah globalisasi juga membuka peluang penguatan bagi semua kelompok kebudayaan. Ketika globalisasi tiba, semua orang memerlukan jati diri dan bangga dengan identitasnya. Sebagai kebudayaan yang sangat dinamis dan terbuka, Minangkabau justru akan semakin kuat dengan adanya globalisasi, mengingat makin pentingnya nilai yang mampu memberikan perbedaan spesifik dan berakar. Matrilini adalah pilihan berbeda di tengah budaya patrilini yang mendunia, dan pilihan berbeda tentu saja mengakibatkan tekanan dari semua arah, termasuk dari dalam diri sendiri.

Minangkabau atau Sumatera Barat
Dua hal ini berbeda tapi banyak dicampur aduk-kan. Minangkabau adalah wilayah kebudayaan. Tak ada batas geografisnya seperti ungkapan dikambang saleba alam***. Sumatera Barat hanyalah wilayah adiministratif dalam wilayah republik Indonesia, yang orang Minang terlibat aktif dan memberikan kontribusi dalam pembentukannya. Mengingat hal ini, menjadi sangat tak masuk akal adanya gagasan Provinsi Minangkabau, sebagaimana dilansir beberapa pihak. Dalam banyak masalah, kita sering mencampuradukkan kedua batasan ini. Pekan Budaya Sumatera Barat misalnya, bagaimana menuntutnya sama dengan Pekan Budaya Minangkabau? Dalam provinsi Sumatera Barat ada etnis lain, yang hidup berdampingan dan berkulturasi dengan orang Minang. Bagaimana memahami wayang berbahasa Minang di Darmasyraya atau tari ronggeng di Pasaman Barat?

Minangkabau atau Pagaruyung
Ini juga dua hal yang belum dapat dijelaskan dengan baik. Banyak orang Minang yang mengira bahwa Pagaruyung sama dengan kerajaan Minangkabau atau paling tidak wilayahnya adalah Minangkabau. Apakah kerajaan Pagaruyung itu sama format dan bentuknya dengan kerajaan Mataram atau kerajaan Kutai? Tidak sama, kata seorang teman. Bagaimana perbedaannya. Banyak yang belum bisa menjernihkannya. Istana Paguruyung seolah menjadi keraton kerajaan orang Minangkabau yang sama pengertiannya dengan istana kerajaan lain. Bahwa Minangkabau dan Pagaruyung itu berhubungan timbal balik dan tidak dapat dilepaskan satu sama lainnya, itu benar. Perlu penjelasan tentang bagaimana hubungan itu tidak berlangsung sama dengan di tempat lain.

Gebu Minang, adat salingka nagari
Banyak orang yang sependapat bahwa Gebu Minang belum mampu menyelesaikan banyak hal yang diinginkan atau dibayangkan orang ketika lembaga ini didirikan. Gerakan Seribu Minang artinya ketika didirikan, sudah disempurnakan menjadi Gerakan Ekonomi dan Budaya Minangkabau. Program awalnya, termasuk kegiatan ekonomi seperti BPR Gebu Minang, tidak banyak diketahui umum keberadaannya sekarang. Makin lama makin terasa kekuatannya melemah termasuk akibat situasi politik yang berubah. Yang jadi masalah utama adalah lembaga ini memakai nama Minangkabau dan kemudian beroperasi terutama di Sumatera Barat. Bagaimana dengan orang Minangkabau di luar Sumatera Barat? Beberapa kantong perantau memang coba dilibatkan, tapi bagaimana dengan wilayah kebudayaan Minangkabau di luar Sumatera Barat? Lagipula, persatuan lebih kuat di tingkat yang lebih kecil. Tagak nagari mamaga nagari****. Ikatan perantau nagari malah jauh lebih kuat dan berdaya nyata.

***

* Ranah dan rantau.
** Bunga pasir dan bunga kayu
*** Dikembang selebar alam
**** Tegak negeri memagar negri
***

LKAAM adalah singkatan dari Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau
APBN adalah singkatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APBD adalah singkatan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

***

Muhammad Ibrahim Ilyas yang orang Chaniago (Bram Chaniago) berasal dari daerah bernama Lubuak Buayo (Lubuk Buaya) di Padang, Sumatra Barat. Lahir di Padang pada tahun 1963, laki-laki yang dipanggil Bram ini adalah seorang pekerja teater yang juga seorang penulis puisi, esai, cerpen dan  naskah drama. Pernah terlibat dalam berbagai media massa, kini ia bergiat sebagai Sekretaris Dewan Kesenian Sumatra Barat (DKSB).  Sebagaimana layaknya orang-orang pekerja seni lainnya di ranah dan rantau, Bram juga adalah seorang pengamat kebudayaan Minangkabau. Pemaparan dari Bram Chaniago di atas memberikan gambaran mengenai permasalahan-permasalahan kebudayaan -yang juga berhubungan dengan permasalahan ekonomi– yang lebih layak untuk dibahas oleh seluruh masyarakat Minangkabau.

Bram Chaniago adalah salah seorang pendiri daripada grup Debu Miang (yang merupakan plesetan dari Gebu Minang) di facebook dalam rangka penolakan terhadap diselenggarakannya Kongres Kebudayaan Minangkabau 2010 yang secara sepihak diprakarsai oleh Brigjen (Purn.) Saafroedin Bahar bersama Mochtar Naim lewat lembaga bernama Gebu Minang dengan mengatasnamakan seluruh masyarakat Minangkabau.



Juni 2024
S S R K J S M
 12
3456789
10111213141516
17181920212223
24252627282930

Blog Stats

  • 238.887 hits