Posts Tagged ‘Sultan HB X

24
Sep
10

Ikrar Nusa Bhakti: Raja Jawa Jadi Capres

RAJA JAWA JADI CAPRES

Judul di atas bukanlah lakon Ketoprak Mataram, kesenian rakyat Yogyakarta yang kini hampir punah atau kurang penontonnya.

Ini adalah suatu kenyataan politik, saat Sultan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, pada 28 Oktober 2008 mendeklarasikan diri sebagai calon presiden pada Pemilihan Presiden 2009. 28 Oktober 2008, yang jatuh pada hari Senin, juga merupakan hari keramat, karena pada tanggal itu, 80 tahun lalu, para wakil putra dan putri Indonesia di Batavia (Jakarta sekarang) berikrar: bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia; Berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia; Menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia.

Ini menunjukkan sekali lagi, bahwa Sultan Yogyakarta, seperti juga ayahnya (Sultan Hamengku Buwono IX), adalah seorang republikan. Tak mengherankan pula jika partai politik pertama yang mendukung pencalonan Sultan sebagai capres adalah Partai Republika Nusantara (Republikan) pimpinan Muslim Abdurrahman, seorang tokoh NU yang lintas suku dan agama.

Konon, Muslim Abdurrahman adalah salah seorang dari “The Magnificent Seven” (Tujuh Pendekar yang Cemerlang), atau mereka menyebut dirinya sebagai “Tujuh Samurai“, yaitu pekerja politik yang bergerak di arus bawah massa untuk menggolkan Sultan HB X menjadi calon presiden.

Enam lainnya adalah Dr Sukardi Rinakit (kolumnis dan pengamat politik), Garin Nugroho (sutradara kondang dan budayawan), Franky Sahilatua (pelantun lagu-lagu balada yang kondang), sedangkan tiga lainnya adalah tokoh agamawan, media, dan tokoh masyarakat yang tidak ingin disebutkan namanya. Gerakan “Sultan for The President” bukanlah muncul seketika.

“The Magnificent Seven” cukup lama mengelus-elus Sultan. Awalnya Sultan juga agak ragu, elokkah dia sebagai raja Jawa ikut pemilihan umum presiden/wakil presiden. Mungkin, setelah bersemedi untuk meminta petunjuk dari para pendahulunya, khususnya pendiri Kerajaan Mataram, lebih khusus lagi Sultan Hamengku Buwono I, melakukan salat malam untuk meminta petunjuk Ilahi, melihat betapa seriusnya para koordinator lapangan dan kuatnya dukungan massa yang membludak di Alun-alun Yogya pada 28 Oktober 2008 itu, barulah dia yakin dan berani mendeklarasikan diri jadi capres.

Suara dukungan kepada Sultan sebenarnya juga sudah terdengar di dalam Partai Golkar, dengan tokoh pendukung utamanya adalah pendiri SOKSI, Suhardiman. Di jajaran Partai Persatuan Pembangunan (PPP) juga terdengar dukungan, walau sehari kemudian diralat bahwa PPP akan berkoalisi dengan Partai Golkar. Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla, yang juga Wakil Presiden RI, merelakan Sultan HB X sebagai kader Golkar didukung oleh partai lain.

Namun, jika dukungan semakin mengkristal, bukan mustahil dalam rapat pimpinan khusus mendatang, partai ini akan mendukung pasangan Sultan HB X dan Jusuf Kalla sebagai capres/ cawapres pada Pemilu 2009. Jika ini terjadi, klop sudah, capres dari etnik Jawa dan cawapres dari luar Jawa!

Masih Cair

Saat ini masih belum pasti ada berapa pasangan yang akan maju pada pemilihan presiden mendatang. Dukungan pun masih cair. Dalam berbagai survei, yang muncul memang nama-nama seperti Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, Prabowo Subianto, Sultan Hamengku Buwono X, Jusuf Kalla, Wiranto, Amien Rais, Sutrisno Bachir, dsb. Tapi belum tahu siapa yang akan mendampingi mereka.

Saat ini santer terdengar bahwa PDIP akan berkoalisi dengan PKS atau PDIP dengan Partai Golkar. Dalam sejarah politik Indonesia era Demokrasi Konstitusional/Demokrasi Parlementer/Demokrasi Liberal 1950- 1957, adalah hal yang lumrah Partai Nasional Indonesia (PNI) berkoalisi dengan Masyumi yang Islam modernis. Namun, di era reformasi ini tampaknya sulit bagi PDIP berkoalisi dengan PKS yang hingga kini tidak secara tegas mendukung atau menolak capres perempuan.

Dalam berbagai wawancara dengan media televisi, Presiden PKS Tifatul Sembiring selalu mengatakan terserah dukungan rakyat, tapi tidak tegas setuju atau tidak setuju dengan capres perempuan. Meski pragmatisme politik lebih mengemuka dalam pembentukan koalisi era reformasi, tampaknya tetap sulit bagi PDIP berkoalisi dengan PKS.

Politik memang seni berbagai kemungkinan, tapi “sangat tidak mungkin” Megawati Soekarnoputri disandingkan dengan Hidayat Nur Wahid. Daerah pemilihan Hidayat Nur Wahid saja sama dengan putri Megawati, Puan Maharani, yaitu Daerah Pemilihan Jawa Tengah V yang dikenal sebagai “daerah neraka” karena banyak tokoh terkenal memperebutkan kursi di sana. PDIP juga sulit berkoalisi dengan Partai Golkar untuk menyandingkan Megawati dan Jusuf Kalla.

Kalaupun dipaksakan, kejadian Pilpres 2004 terulang lagi, pemilih Golkar tidak mendukung koalisi yang dibentuk para elite partai. Koalisi ini juga akan mendapat tentangan yang hebat dari para tokoh Golkar yang mendukung Sultan. Kalaupun ada tokoh Golkar lain dari luar Jawa yang disandingkan dengan Megawati, tampaknya sulit mendapat dukungan dari arus atas dan bawah Golkar.

Jika Jusuf Kalla tetap ingin mendampingi SBY pada Pemilihan Presiden 2009, memang sangat pas bagi keduanya. SBY perlu mengikat JK agar mendapatkan dukungan dari Partai Golkar.Tanpa dukungan Golkar, SBY sulit menjadi capres lagi, karena membutuhkan dukungan dari parpol dengan 20 persen kursi di DPR atau perolehan suara 25 persen hasil pemilu legislatif.

Posisi JK juga sama dengan SBY yang tidak menguntungkan karena tidak lagi memiliki posisi tawar yang kuat seperti pada Pilpres 2004. Jadi, antara SBY dan JK sebenarnya terjadi simbiosis mutualisme alias saling membutuhkan dan menguntungkan. Walaupun JK tampaknya sudah capai dengan gaya kepemimpinan SBY yang dipandang banyak pengamat lamban atau tidak tegas dalam mengambil keputusan, kecuali jika Dia yakin akan mendapatkan keuntungan politik dari keputusan itu.

Di antara para “bintang”-maksud penulis adalah mereka yang berpangkat jenderal-juga sulit melakukan koalisi sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden. SBY tidak mungkin berpasangan dengan Sutiyoso, Wiranto, ataupun Prabowo Subianto, karena secara politis tidak akan menguntungkan. Selain persoalan “senior-junior”, ada juga konotasi yang buruk soal hegemoni militer dalam politik Indonesia.

Tapi partaipartai mereka, Partai Demokrat, Hanura, Gerindra, atau apa pun yang sejalan, dapat saja berkoalisi satu sama lain. Jika popularitas Sultan makin menanjak, bukan mustahil pasangan yang diusung Partai Golkar adalah Sultan HB X dan Jusuf Kalla sebagai calon presiden dan wakilnya.

Kinerja Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI, dengan berbagai kelemahan dan kelebihannya, sudah diketahui dan dirasakan masyarakat. Namun, kita belum tahu karakter kepemimpinan Sultan HB X, bukan sebagai raja Yogyakarta atau gubernur DI Yogyakarta, melainkan sebagai presiden. Seperti pepatah yang diucapkan mantan Presiden AS era perang sipil di AS dahulu, Abraham Lincoln, “…if you want to test a man”s character, give him power (Jika kamu ingin mengetes karakter seseorang, beri dia kekuasaan)!”

Situs Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (ISSN 2086-5309)
Raja Jawa Jadi Capres
Kamis, 6 November 2008
Penulis : Ikrar Nusa Bhakti (P2 Politik LIPI)
Sumber : okezone.com (4 November 2008)

***

Tulisan ini merupakan postingan ke-9 di blog ini mengenai rencana pelaksanaan Kongres Kebudayaan Minangkabau 2010 atau yang dikenal sebagai KKM 2010 oleh para patriarch Minangkabau seperti Saafroeddin Bahar dan Mochtar Naim.

Tulisan ini juga merupakan tulisan ke-5 dalam rangkaian tulisan mengenai upacara Ngabekten dan sang patriarch Jawa yang menyebut dirinya sendiri sebagai “Sri Sultan Hamengkubuwono ke-10“. Dalam tulisan ini dapat terlihat para tokoh yang menginginkan seorang raja Jawa untuk menjadi presiden Republik Indonesia, yang memungkinkan Hamengku Buwono tidak saja menjadi raja Jawa, melainkan juga raja dari seluruh orang Indonesia. Beberapa orang dari pendukung raja Jawa ini dikenal sebagai orang-orang “pro demokrasi“. Hal yang sesungguhnya amat sangat aneh. Bagaimanakah bisa mereka menyebut dirinya “pro demokrasi”, sedangkan pada saat yang sama mereka mendukung seorang raja yang merupakan perwujudan daripada kekuatan anti demokrasi ataupun perwujudan dari segala sesuatu yang bersifat anti demokrasi. Seperti telah kita lihat melalui jalannya upacara Ngabekten dan banyak aspek lainnya dari budaya masyarakat Jawa bahwa demokrasi tidak dikenal dalam pandangan hidup Jawa, yang ada adalah ketertundukan 100% kepada sang patriarch Jawa, sang Bapak penguasa masyarakat Jawa.

Walaupun tulisan ini dipublikasikan pada tahun 2009 lalu, isinya tetap sesuai dengan kekinian.




April 2024
S S R K J S M
1234567
891011121314
15161718192021
22232425262728
2930  

Blog Stats

  • 238.871 hits